Rabu, 27 Februari 2008

Masa Depan Ada Di Masa Lalu

Saya pernah membaca kalimat motivasi “Your past doesn’t equal your future” atau “Masa lalu anda tidak sama dengan masa depan anda”. Maksud dari pernyataan ini adalah apapun yang terjadi di masa lalu kita tidak menentukan masa depan kita.


Benarkah demikian?


Dulu saya menerima sepenuhnya pernyataan di atas. Dengan kata lain saya haqul yakin bahwa penyataan ini benar-benar benar. Namun sekarang saya justru berpikir sebaliknya. Saat ini saya tahu bahwa masa lalu sama dengan masa depan atau masa depan ada di masa lalu.


Nah, bingung, kan?


Kesimpulan ini saya dapatkan setelah memikirkan secara mendalam berbagai kasus yang pernah saya tangani dan juga pengalaman hidup dan perubahan yang terjadi pada sangat banyak alumnus pelatihan Supercamp Becoming a Money Magnet dan The Secret of Mindset yang saya selenggarakan.


Ceritanya begini. Jika masa lalu tidak sama dengan masa depan, lalu mengapa ada begitu banyak orang yang sulit mencapai impian mereka? Mengapa mereka, yang telah berusaha sedemikian keras alias melakukan massive action, melakukan sangat banyak upaya, membaca banyak buku sukses, ikut berbagai pelatihan pengembangan diri, masih saja tetap sulit berhasil?


Sebaliknya, mengapa ada orang yang tidak perlu membaca buku, tidak usah dengar kaset motivasi, nggak pernah ke berbagai seminar, dan hanya dengan upaya yang sedikit, eh… mudah sekali mencapai sukses yang mereka inginkan.


Dari hasil perenungan saya akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa masa lalu seseorang sama dengan masa depan mereka. Jika tetap berpegang teguh pada pernyataan bahwa masa lalu tidak sama dengan masa depan maka kalimat ini perlu sedikit dimodifikasi.


Saya akhirnya menambahkannya menjadi “masa lalu tidak sama dengan masa depan, bila kita mengembangkan kesadaran diri untuk berpikir dan bertindak dengan prinsip kekinian”.


Lha, kamsud… eh.. maksudnya apa lagi nih?


Maksudnya begini. Dari berbagai kasus yang saya telaah, saya menemukan bahwa hampir semua tindakan kita, saat ini, dipengaruhi oleh kesimpulan akibat pembelajaran berdasar pengalaman hidup kita di masa lalu, baik itu pengalaman positif maupun pengalaman negatif. Dengan kata lain, selama kita tidak mengembangkan kesadaran diri untuk bisa berpikir dengan prinsip kekinian maka kita akan selalu beroperasi dengan “automatic pilot”. Sebenarnya di dalam pikiran kita tidak mengenal masa lalu maupun masa depan. Yang ada hanyalah masa sekarang.


Saya akan berikan contoh agar bisa lebih jelas.


Baru-baru ini saya menangani mahasiswa dari Jogja yang putus kuliah. Ia bercerita bahwa ia tidak bisa berbicara di depan umum. Jika diminta bicara di depan orang banyak maka ia selalu merasa takut, tidak berdaya, jantung berdebar, muka pucat, keringat dingin, dan tidak tahu apa yang harus diucapkan.


Dari mana ia belajar respon seperti ini? Sudah tentu dari masa lalunya. Di masa lalu, saat ia masih SD ternyata ia pernah dipermalukan di depan kelas saat diminta membaca puisi. Pengalaman traumatik ini yang akhirnya membuat ia seperti sekarang ini.


Seorang wanita cantik, menarik, pintar, berusia sekitar 30an, memegang posisi kunci di perusahaan tempat ia bekerja, ternyata masih jomblo alias belum punya pasangan. Kok bisa ya?

Banyak pria mapan yang menyenanginya. Dan ia juga suka pada mereka. Bahkan ia telah menjalin kasih secara serius dengan beberapa pria itu. Namun, selalu putus di tengah jalan. Nggak pernah sampai ke pernikahan.


Selidik punya selidik ternyata wanita ini berasal dari keluarga broken home. Orangtuanya berpisah saat ia masih berusia 5 tahun. Ternyata perpisahan ini meninggalkan luka yang membekas cukup dalam di hatinya. Saat itu ia menyimpulkan bahwa kehidupan rumah tangga adalah sesuatu yang menyakitkan.


Namun ada juga orang yang telah beberapa kali mengalami kegagalan tapi ia tetap bisa bangkit dari kegagalan itu dan akhirnya berhasil mencapai impiannya. Saat ditanya mengapa ia bisa begitu gigih dan yakin dalam memperjuangkan impiannya ia menjawab, “Saya berasal dari keluarga miskin. Ayah saya selalu berpesan bahwa tidak ada orang yang gagal asalkan ia mau terus berusaha, belajar dari kegagalannya, dan terus berjuang. Prinsip ini yang saya pegang teguh.”


Ia tidak membiarkan apa yang dialaminya sekarang menghentikan langkahnya. Yang menjadi pendorong semangatnya adalah pesan ayahnya, yang ia dapatkan sewaktu ia masih kecil dulu.


Nah, anda jelas sekarang?


Tadi saya mengatakan bahwa masa lalu tidak sama dengan masa depan, bila kita mengembangkan kesadaran diri untuk berpikir dan bertindak dengan prinsip kekinian. Untuk bisa membuat masa depan tidak sama dengan masa lalu maka kita perlu mengembangkan kesadaran diri. Kesadaran ini yang membuat kita bertindak tidak lagi berdasar “data base” atau “program” pikiran akibat pengalaman masa lalu namun berdasar kondisi kita saat ini. Inilah yang saya maksudkan dengan prinsip kekinian.


Prinsip kekinian menyatakan bahwa saat ini (kini) adalah titik awal dari langkah kehidupan yang akan kita tempuh. Kita beroperasi dengan pengetahuan, pengalaman, pemahaman, prinsip hidup, dan kebijaksanaan yang berhasil kita kembangkan hingga saat ini. Kita tidak membiarkan masa lalu mendikte hidup kita. Kita mengenang masa lalu hanya sebagai sejarah hidup kita. Kita belajar dari masa lalu dan menjadi lebih bijaksana.


Nah, saat merenung mengenai kesadaran, kebijaksanaan, dan masa depan… eh.. tiba-tiba saya mendapat email dari kawan saya, Eric Gotana, melalui milis Money Magnet. Apa yang Eric tulis sejalan dengan yang sedang saya pikirkan. Dan atas seijin Eric saya mengutip dan sedikit memodifikasi tulisannya.


Masa depan sama dengan masa lalu karena kita "tidak bebas" menjalani kehidupan di dunia sebagai akibat dari ketidaksadaran kita.

"Tidak bebas" menjalani hidup maksudnya tidak bebas menjadi diri kita sendiri karena rasa takut seperti takut dosa, takut karma buruk, takut salah, takut berakibat buruk dan takut-takut lainnya yg dibenarkan oleh pikiran kita.


Pada contoh di atas, mahasiswa yang takut bicara di depan umum dan wanita yang susah dapat jodoh (baca: takut menikah) menjalani hidup dengan “tidak bebas” akibat penjara mental yang dibangun oleh pikiran mereka, untuk melindungi mereka dari hal-hal “negatif”, menurut pikiran itu sendiri.

Ketidaksadaran ini disebabkan oleh karena pikiran kita merekayasa (baca: menafsirkan secara subjektif) kebenarannya sendiri dan secara terus menerus berputar-putar di dalam lingkaran sebab-akibat yang diciptakannya sendiri.


Ketidaksadaran membuat kita tidak sadar akan adanya :
- kebenaran, karena kita terkekang oleh "kebenaran" dan "ketidakbenaran" menurut penafsiran pikiran kita.
- keadilan, karena kita terkekang oleh "keadilan" dan "ketidakadilan" menurut penafsiran pikiran kita.
- surga , karena kita terkekang oleh "surga" dan "neraka" menurut penafsiran pikiran kita.
- karma baik, karena kita terkekang oleh "karma baik" dan "karma buruk" menurut penafsiran pikiran kita.
-keberlimpahan, karena kita terkekang oleh "kekayaan" dan "kemelaratan" menurut penafsiran pikiran kita.
- kebahagiaan, karena kita terkekang oleh "kebahagiaan" dan "ketidakbahagiaan" menurut penafsiran pikiran kita.

Hanya melalui kebijaksanaan kita mampu bebas dari jerat "benar" dan "tidak benar" menurut pikiran sehingga mampu melihat apa yang ada secara jernih. Kebijaksanaan hanya muncul ketika kita memutuskan untuk menjadi sadar.


Pada saat kita telah benar-benar sadar maka masa lalu tidak sama dengan masa depan, masa depan tidak ada di masa lalu, masa depan adalah hasil pencapaian yang diraih melalui perencanaan yang matang berdasar peta kehidupan yang kita rancang sendiri, secara hati-hati dan saksama, berdasar kesadaran kita pada saat itu.


Konsep Diri Positip: Kunci Keberhasilan Hidup

Perubahan dunia yang sangat pesat membuat persaingan hidup semakin meningkat. Para orangtua saat ini berlomba-lomba untuk memberikan bekal pendidikan, yang dipercayai sebagai bekal terbaik bagi anak yaitu pendidikan. Asumsi orangtua pada umumnya adalah semakin tinggi level pendidikan formal maka akan semakin terjamin masa depan anaknya. Apakah benar demikian?

Untuk menjawab pertanyaan itu kita perlu melihat ke sekeliling kita. Berapa jumlah sarjana yang "ngganggur"? Berapa jumlah lulusan luar negeri, yang setelah pulang ke Indonesia, tidak bisa bekerja atau tidak berhasil? Berapa banyak yang lulus cum laude namun prestasi hidupnya biasa-biasa? Sebaliknya ada banyak orang yang prestasi akademiknya biasa-biasa namun prestasi hidupnya sangat luar biasa. Jadi, sebenarnya prestasi akademik bukan merupakan jaminan keberhasilan hidup.

Hasil penelitian yang dilakukan di Amerika oleh Dr. Eli Ginzberg beserta timnya menemukan satu hasil yang mencengangkan. Penelitian ini melibatkan 342 subyek penelitian yang merupakan lulusan dari berbagai disiplin ilmu. Para subyek penelitian ini adalah mahasiswa yang berhasil mendapatkan bea siswa dari Colombia University. Dr. Ginzberg dan timnya meneliti seberapa sukses 342 mahasiswa itu dalam hidup mereka, lima belas tahun setelah mereka menyelesaikan studi mereka. Hasil penelitian yang benar-benar mengejutan para peneliti itu adalah:

Mereka yang lulus dengan mendapat penghargaan (predikat memuaskan, cum laude atau summa cum laude), mereka yang mendapatkan penghargaan atas prestasi akademiknya, mereka yang berhasil masuk dalam Phi Beta Kappa ternyata lebih cenderung berprestasi biasa-biasa.


Hasil penelitian ini membuktikan bahwa tidak ada hubungan langsung antara keberhasilan akademik dan keberhasilan hidup. Lalu faktor apa yang menjadi kunci keberhasilan hidup manusia?

Kunci keberhasilan hidup adalah
konsep diri positif. Konsep diri memainkan peran yang sangat besar dalam menentukan keberhasilan hidup seseorang, karena konsep diri dapat dianalogikan sebagai suatu operating system yang menjalankan suatu komputer. Terlepas dari sebaik apapun perangkat keras komputer dan program yang di-install
, apabila sistem operasinya tidak baik dan banyak kesalahan maka komputer tidak dapat bekerja dengan maksimal. Hal yang sama berlaku bagi manusia.

Konsep diri adalah sistem operasi yang menjalankan komputer mental, yang mempengaruhi kemampuan berpikir seseorang. Konsep diri ini setelah ter-
install
akan masuk di pikiran bawah sadar dan mempunyai bobot pengaruh sebesar 88% terhadap level kesadaran seseorang dalam suatu saat. Semakin baik konsep diri maka akan semakin mudah seseorang untuk berhasil. Demikian pula sebaliknya.

Proses pembentukan konsep diri dimulai sejak anak masih kecil. Masa kritis pembentukan konsep diri adalah saat anak masuk di sekolah dasar. Glasser, seorang pakar pendidikan dari Amerika, menyatakan bahwa lima tahun pertama di SD akan menentukan "nasib" anak selanjutnya. Sering kali proses pendidikan yang salah, saat di SD, berakibat pada rusaknya konsep diri anak.

Kita dapat melihat konsep diri seseorang dari sikap mereka. Konsep diri yang jelek akan mengakibatkan rasa tidak percaya diri, tidak berani mencoba hal-hal baru, tidak berani mencoba hal yang menantang, takut gagal, takut sukses, merasa diri bodoh, rendah diri, merasa diri tidak berharga, merasa tidak layak untuk sukses, pesimis, dan masih banyak perilaku inferior lainnya.

Sebaliknya orang yang konsep dirinya baik akan selalu
optimis, berani mencoba hal-hal baru, berani sukses, berani gagal, percaya diri, antusias, merasa diri berharga, berani menetapkan tujuan hidup, bersikap dan berpikir positif, dan dapat menjadi seorang pemimpin yang handal


Learning Disabled vs Teaching Disabled

Tidak ada satupun anak yang bodoh.
Yang ada adalah anak yang "dipaksa" menjadi bodoh.

-
Adi W Gunawan


Pernahkah anda, orangtua atau pendidik, bertemu dengan seorang anak yang hampir semua nilai ujiannya "jeblok" namun dapat menghapal semua nama dan nomor punggung pemain sepak bola dan nama klub sepakbola yang ia kagumi? Saya yakin pasti pernah. Lalu apa hubungan antara pelajaran sekolah dan kemampuan menghapal nama pemain sepak bola? Oh, hubungannya sangat erat. Jika anda cukup jeli, anda pasti heran karena anak yang bodoh, menurut versi sekolah karena nilainya jelek, ternyata mempunyai daya ingat yang sangat tinggi untuk urusan sepakbola. Otak yang digunakan anak untuk mengingat pelajaran sekolah dan nama pemain sepak bola sudah tentu otak yang sama.

Orangtua dan guru biasanya tidak pernah mau repot-repot memikirkan keanehan ini. Biasanya guru selalu "menyalahkan" murid karena prestasi murid yang tidak maksimal. Orangtua sebaliknya akan kalang kabut mencarikan guru les bagi anaknya, agar nilai anak bisa naik. Jika anak sudah diberi les ini, les itu, nilainya masih tetap jelek, maka biasanya akan langsung diberi label sebagai anak bodoh, anak yang lamban, anak blo'on, atau, kalau pakai istilah teknis, learning disabled. Benarkah demikian?

Coba anda simak cerita berikut ini.

Ada dua orang murid kelas 8 (SMP kelas 2), Jane dan Joe, yang sangat lemah di Matematika., khususnya mengenai pelajaran pecahan. Ke dua anak ini, oleh psikolog, telah mendapat label "learning disabled" alias mengalami kesulitan belajar. Selain itu ke dua anak ini juga ada masalah dengan spelling atau mengeja.

Orangtua mereka tetap berkeyakinan bahwa anak-anak mereka mampu. Hanya saja kemampuannya belum digunakan secara optimal. Mereka lalu meminta bantuan pakar pembelajaran mutakhir S.A.L.T (Suggestive Accelerated Learning and Teaching). Pakar ini setuju untuk membantu anak-anak ini.

Saat pertama kali mendapat terapi, mereka diminta mengerjakan pre-test yang berhubungan dengan kemampuan spelling. Untuk yang ini, tidak ada masalah. Mereka dengan senang hati mengerjakan tes yang diberikan. Sedangkan untuk pre-test matematika mereka sama sekali tidak mau. Meskipun sudah dibujuk dengan berbagai cara mereka tetap menolak. Saat ini anda tentu tahu apa yang terjadi. Ada mental block.

Tahukah anda berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat anak-anak ini meningkat kemampuannya? Hanya 4 hari. Benar, anda tidak salah baca. Hanya 4 (empat) hari. Berikut ringkasan test yang diberikan dari hari pertama hingga ke empat.

Mengeja / Spelling Matematika (Pecahan)
Hari 1 2 3 4 1 2 3 4
Jane 30 90 100 100 0 90 100 80
Joe 20 90 60 60 0 90 90 90

Hasil yang dicapai oleh Joe pada ujian mengeja, di hari ke 3 dan ke 4, seharusnya masing-masing 100. Namun Joe sengaja mengubah jawabannya yang benar menjadi jawaban yang salah karena dia tetap tidak percaya kalau ternyata dia mampu mengerjakan test ini dengan sempurna. Kembali, di sini kita melihat suatu mental block yang sangat merugikan.

Apa yang terjadi. Bagaimana anak yang tadinya dicap sebagai learning disabled tiba-tiba berhasil mencapai nilai yang begitu tinggi? Ke dua anak ini selanjutnya dapat menyelesaikan studi dengan baik dan bahkan masuk ke universitas.

Dari apa yang diceritakan di atas jelas terlihat bahwa anak tidak berprestasi karena adanya mental block, yang muncul sebagai akibat dari proses mengajar yang salah. Proses mengajar yang salah ini disebut dengan teaching disabled. Biasanya guru tidak pernah mau mengakui kalau ternyata mereka tidak mengerti cara mengajar yang baik, benar, efektif, dan efisien. Yang selalu disalahkan adalah murid.

Dari pengalaman saya bergaul dengan banyak pendidik, jarang ada yang benar-benar mengerti dan mampu menerapkan proses pembelajaran yang menarik, efektif, dan yang paling penting, menyenangkan. Banyak yang berasumsi bahwa bila guru mengajar maka murid pasti belajar. Mengajar dan belajar adalah dua proses yang berbeda.

Banyak hal yang perlu diketahui orangtua dan pendidik agar dapat membantu anak belajar, antara lain konsep diri, cara kerja pikiran, cara kerja otak, cara kerja memori, motivasi, rentang fokus optimal, gaya belajar, gaya asimilasi, penguasaan materi, manajemen kelas, kepribadian, musik, teknik memori, teknik mencatat, teknik berhitung, dan masih banyak lagi. Kalau sudah begini maka terlihat bahwa proses mengajar dan belajar bukanlah hal yang sederhana.

Saya juga selalu mengatakan bahwa setiap anak mempunyai kemampuan belajar yang sangat luar biasa. Bila berbicara mengenai kemampuan belajar maka orang selalu menghubungkannya dengan IQ. Di setiap seminar saya selalu mengatakan bahwa kita dapat belajar dengan sangat cepat. Dan selalu ada peserta seminar yang mengatakan, "Itu kan bergantung pada IQ. Kalau IQ-nya tinggi bisa, kalau IQ-nya biasa-biasa ya jangan harap bisa belajar dengan cepat dan dengan hasil yang baik". Cukup sulit bagi saya untuk meyakinkan tipe orang seperti ini. Orang ini hanya bicara IQ. Padahal yang saya tekankan adalah PQ atau Potential Quotient.
PQ berbanding lurus dengan Konsep Diri. Semakin baik Konsep Diri seseorang maka semakin besar potensi diri yang dapat ia kembangkan.


Sekolah Dirancang Untuk Menghasilkan Orang-orang Gagal

Judul di atas terkesan sangat provokatif, bukan? Saya sengaja membuka tulisan ini dengan statement yang keras dan menggugat. Namun jangan salah mengerti. Saya bukan tipe orang yang anti pendidikan formal. Saya sendiri adalah seorang pendidik, lebih tepatnya Re-Educator, yang sangat concern dengan kondisi pendidikan di tanah air. Apa yang saya tulis di bawah ini merupakan kristalisasi hasil belajar saya atas pemikiran para pakar pendidikan seperti Paulo Freire, Ivan Illich, Drost, Everett Reimer, John Holt, Alfie Kohn, Neil Postman, dan William Glasser, ditambah dengan perenungan dan pengalaman pribadi.

Proses pendidikan atau lebih tepatnya pembelajaran yang terjadi di sekolah selama ini sangat jauh dari praktik pembelajaran yang manusiawi, yang sesuai dengan cara belajar alamiah kita. Konsep "belajar" yang diterapkan telah sangat usang dan merupakan warisan dari jaman agraria dan industri.

Kembali saya ulangi, masalah utama yang ada dalam sistem pendidikan kita adalah sekolah memang dirancang untuk menghasilkan anak gagal. Ini semua sebagai akibat dari sistem pengujian kita yang menggunakan referensi norma, yang sangat mengagungkan penggunaan kurva distribusi normal atau kurva lonceng (Bell Curve). Kurva distribusi normal ini mengharuskan ada 10% anak yang prestasinya rendah, 80% rata-rata, dan 10% yang berprestasi cemerlang.

Bulan lalu dalam dua kesempatan yang berbeda saya memberikan pelatihan untuk para kepala sekolah SD Negeri dan Pengawas (tingkat TK dan SD) se kabupaten/kota Jawa Timur. Saat bertanya, "Bapak/Ibu, jika anda punya 40 orang murid dalam satu kelas, dan saat ujian semua dapat nilai 100, anda sukses atau gagal?". Bak paduan suara yang sangat kompak, serentak mereka menjawab, "Gagal...". "Lho, koq gagal", tanya saya. "Ya Pak, kalau semua dapat 100 maka pasti soalnya terlalu mudah, atau gurunya yang tidak bisa membuat soal", jawab mereka kompak.

Saya lalu mengejar dengan pertanyaan, "Bapak dan Ibu, misalnya anda diminta mengajar 40 orang anak memasak nasi goreng sea-food spesial. Kalau semua belum bisa (saya tidak menggunakan kata "tidak bisa") memasak nasi goreng seperti yang anda inginkan, apa yang akan anda lakukan?". "Ya, kita akan mengulangi lagi sampai si anak benar-benar bisa", jawab mereka. "Sekarang, kalau semuanya berhasil memasak nasi goreng yang sangat enak, anda berhasil atau gagal?", tanya saya lagi. "Wah, kalau semuanya bisa, ini berarti kita sangat berhasil Pak", jawab mereka. "Kalau begitu apa bedanya antara mengajar anak memasak nasi goreng dengan mengajar anak suatu pelajaran, misalnya matematika atau bahasa Inggris?", kejar saya lagi. Kali ini semuanya diam dan tidak bisa berkomentar.

Saya lalu menjelaskan mengenai kurva distribusi normal yang sebenarnya, kalau menurut pendapat saya pribadi, tidak normal. Mendapat penjelasan ini para peserta akhirnya bisa memahami apa yang saya sampaikan. Saat break saya menemukan satu hal yang sangat menarik. Para kepala sekolah dan pengawas ini sadar bahwa apa yang saya sampaikan itu memang benar dan memang seharusnya demikian cara kita mendidik murid. Namun mereka terikat pada aturan main (baca: sistem pendidikan). Mereka merasa tak berdaya karena bila mereka bersikeras untuk tidak mau mengikuti arus maka mereka akan mendapat kesulitan.

Saya lalu menceritakan keberhasilan kawan saya, Bpk. Danang Prijadi saat mengajar mata kuliah Dasar Filsafat di satu universitas ternama di Surabaya. Ada 3 kelas pararel, masing-masing berisi 40an mahasiswa, dengan dosen yang berbeda. Saat ujian, 95% dari murid di kelas Pak Danang mendapatkan nilai A, sisanya yang 5% dapat nilai B dan C. Hal ini sangat mengejutkan pihak universitas dan dosen lainnya. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi ? Bukankah ini menyalahi kurva distribusi normal? Dan yang lebih
ciamik
lagi, soal yang diujikan bukan disusun oleh Bpk Danang, tapi disusun oleh tim tersendiri.

Tujuan kita mengajar anak adalah agar anak bisa menguasai apa yang diajarkan, tidak peduli apa cara yang digunakan. Yang penting ujung-ujungnya anak bisa menguasai dengan baik apa yang diajarkan. Kalau cara mengajar yang digunakan di sekolah kita terapkan untuk mengajar anak kita, yang masih kecil, belajar bicara atau berjalan, maka pasti kita akan "shocked" karena ternyata, dengan sistem penilaian yang digunakan di sekolah, anak-anak kita akan masuk kategori anak yang ?idiot?. Mengapa masuk kategori "idiot"? Karena anak-anak kita "gagal" terus. Nilai mereka selalu Do ? Re ? Mi alias 1 , 2, atau 3.

Dalam hampir setiap kasus yang pernah saya temui, bila ada timbul masalah belajar biasanya kita hanya melihat pada sisi anak. Jarang sekali kita melihat dan mencari tahu peran yang dimainkan oleh sekolah dan sistem pendidikan kita hingga masalah muncul. Anak yang dianggap bermasalah biasanya akan diterapi melalui BK (bimbingan konseling) dan kalau masih tidak bisa menjadi anak yang "baik" , anak ini dikeluarkan. Di sini terlihat bahwa sebenarnya anak tidak "Drop Out" tapi "Pushed Out".

Lalu, apa sih sebenarnya ujian itu? Untuk kondisi saat ini,
ujian adalah suatu cara untuk mengetahui kecepatan mengingat kembali (recall), suatu informasi yang telah dihapal sebelumnya (register), dan menggunakan (apply
) informasi yang telah diingat kembali untuk menjawab soal ujian, bukan menjawab persoalan hidup. Singkatnya, ujian saat ini hanyalah menguji kemampuan menghapal. Celakanya, sekolah tidak pernah mengajarkan anak didik teknik, cara, metode, atau strategi menghapal yang baik dan benar, yang sesuai dengan cara kerja otak dan pikiran dalam menyerap informasi.

Sistem ujian kita menggunakan sistem closed-book atau buku tertutup. Praktek ini didasari oleh asumsi bahwa kemampuan mengingat suatu pengetahuan jauh lebih berharga dari pada kemampuan untuk mencari sumber pengetahuan. Ujian closed-book ditambah lagi murid tidak boleh kerja sama akhirnya sangat membebani anak didik.Tolong jangan salah mengerti. Saya juga tidak setuju bila anak nyontek. Tapi kalau memang bisa mengapa kita tidak mengajarkan cara belajar kolaborasi? Sistem closed-book mempunyai beberapa keburukan lainnya. Cara menguji seperti ini memberikan beban ekstra bagi anak. Anak yang sangat pintar dalam hal aplikasi akan mendapat nilai jelek bila ia lupa rumus atau definisi. Bila kita mengacu pada hirarki kognisi seseorang, sesuai dengan taksonomi Bloom, maka cara ujian seperti ini hanya mengajarkan anak untuk berpikir pada level yang rendah, level menghapal saja. Kita tidak mengajar anak berpikir pada level yang lebih tinggi yaitu
analisa, sintesa dan evaluasi
.

Jadi, bila kita berbicara mengenai sistem pengujian, kebanyakan yang anak lakukan adalah suatu permainan yang tidak bermutu. Anak hanya belajar menghapal dan membeo. Anak tidak dibenarkan untuk berpikir kreatif dan inovatif. Agar lulus dan selamat, anak harus menjawab seperti yang diajarkan oleh guru dan harus sesuai dengan kunci jawaban yang dimiliki guru. Para pendidik saat ini telah merendahkan martabat dan kemampuan mahluk ciptaan Tuhan. Otak kita, yang memiliki kemampuan yang sangat luar biasa, dirancang untuk berpikir namun sistem pendidikan telah mereduksi fungsi otak hanya sebagai mesin foto kopi.

Setiap kegagalan yang dialami oleh anak di sekolah akan mengakibatkan konsep diri yang buruk. Padahal kita tahu bahwa konsep diri merupakan pondasi untuk keberhasilan di bidang apa saja dalam hidup. Dari pengalaman saya memberikan konseling, saya menemukan bahwa konsep diri yang buruk ini selalu berhubungan dengan berbagai kegagalan yang telah atau pernah dialami saat sekolah. Dan satu hal yang penting yang saya temukan adalah bahwa untuk bisa memperbaiki konsep diri yang sudah terlanjur negatip atau buruk kita perlu mencari dan mengingat kembali berbagai keberhasilan yang pernah kita capai (kisah sukses). Mengutip apa yang Glasser katakan, "Tidak peduli berapa banyak kegagalan yang pernah dilakukan oleh seseorang di masa lalu, tidak masalah apa latar belakang, budaya, warna kulit, latar belakang sosial ekonomi, atau apapun itu, ia tidak akan bisa berhasil hingga ia, melalui suatu kesempatan, mulai mencapai keberhasilan dalam salah satu aspek kehidupan mereka".

Saya percaya jika seorang anak, tidak peduli apapun latar belakangnya, dapat berhasil di sekolah, maka ia mempunyai kemungkinan besar untuk berhasil dalam hidupnya. Jika ia merasakan kegagalan dalam proses pendidikannya, baik itu pada tingkat SD, SMP, dan SMA, atau di PT/Universitas, maka kesempatannya untuk berhasil dalam hidup menurun drastis. Kalau kita hubungkan dengan proses pemrograman pikiran, maka semuanya akan tampak sangat gamblang. Anak yang telah terlanjur (diprogram untuk) percaya bahwa ia adalah seorang pecundang, bodoh, tidak bisa, dan selalu gagal, pasti akan menjadi seperti yang ia yakini. It's a self-fulfilling prophecy.

Sudah saatnya kita mengubah sistem pendidikan kita menjadi suatu sistem yang benar-benar mampu memberdayakan anak kita. Merupakan tanggung jawab kita bersama untuk bisa membantu mengembangkan semua potensi yang dimiliki olah anak-anak kita, melalui proses pendidikan yang memanusiakan anak manusia.

Lalu bagaimana cara kita untuk bisa membantu anak berkembang? Ada dua hal dasar, menurut Glasser, yang perlu diperhatikan berkenaan dengan kebutuhan anak. Yang pertama,
kebutuhan akan cinta dan mencintai. Yang ke dua adalah kebutuhan akan rasa diri berharga.

Kebutuhan akan cinta dan mencintai ini merupakan hal yang paling mendasar yang perlu didapat oleh anak, dan berlaku sebagai pondasi untuk mencapai sukses. Jika seseorang mampu memberikan dan menerima cinta, dan mampu melakukannya secara konsisten dalam hidupnya, maka sampai pada tingkat tertentu ia bisa dikatakan berhasil.

Sering kali kita berpikir bahwa pemenuhan kebutuhan cinta dan mencintai ini hanya bisa dilakukan di rumah saja. Ternyata keyakinan ini salah. Banyak masalah yang timbul di sekolah, baik itu dalam bentuk murid yang tidak kooperatif, tidak ada motivasi belajar, masalah disiplin, murid yang nakal, dan masalah lainnya, semua berawal dari tidak terpenuhinya kebutuhan mendasar seorang anak yaitu cinta dan mencintai. Anak membutuhkan cinta tidak hanya dari rumah, tetapi juga di sekolah, baik itu dari gurunya maupun dari kawan-kawannya.

Sekolah lebih banyak memperhatikan kebutuhan dasar yang ke dua yaitu rasa diri berharga. Bagaimana sekolah bisa memenuhi kebutuhan rasa diri berharga? Untuk bisa mencapai rasa diri berharga dibutuhkan pengetahuan dan kemampuan untuk berpikir. Jika seorang anak masuk sekolah dan gagal dalam upaya memperoleh pengetahuan, belajar cara belajar, belajar berpikir yang benar ? berpikir level tinggi, belajar memecahkan masalah, maka kegagalan ini akan terus terbawa hingga anak menjadi manusia dewasa. Orangtua, lingkungan, dan masyarakat tampaknya tidak mampu memperbaiki kegagalan ini.

Dalam proses mengembangkan rasa diri berharga, dengan memiliki pengetahuan, mampu berpikir benar dan memecahkan masalah yang dia hadapi, seorang anak akan mempunyai rasa percaya diri yang kuat untuk belajar memberi dan menerima cinta. Paling tidak seorang anak mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan cinta, saat ia merasa dirinya berharga, sehingga ia dapat bertahan dalam menghadapi penolakkan.

Melalui cinta seorang anak akan mengembangkan motivasi untuk berhasil dan merasa diri berharga. Jika anak tidak belajar untuk bisa memberikan cinta maka anak akan menjadi anak yang sering merasa gagal. Hal ini terlihat pada anak yang terlalu dimanja dan terlalu dilindungi.

Cinta dan rasa diri berharga ini merupakan satu kesatuan yang sering kita hubungkan dengan identitas pribadi. Cinta dan rasa diri berharga dapat dipandang sebagai dua jalan untuk mencapai identitas pribadi yang berhasil. Bagi kebanyakan anak hanya ada dua tempat di mana mereka bisa mendapatkan identitas diri sebagai pribadi yang sukses yaitu di rumah dan sekolah.

Dalam konteks sekolah, cinta dapat diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab sosial. Bila anak tidak belajar untuk bertanggung jawab terhadap sesama, peduli dengan sesama, dan membantu sesama, maka cinta akan menjadi konsep yang lemah dan terbatas.


Born to be a Genius but Conditioned to be an Idiot

All children are born geniuses; 9.999 out of every 10.000 are swiftly,inadvertaently degeniusized by grownups - Buckminster Fuller

Minggu lalu saya memberikan pelatihan motivasi dan pengembangan diri di suatu perusahaan
blue chip
. Saat sesi tanya jawab, ada seorang peserta yang bertanya, "Pak, apa yang menjadi kunci sukses untuk bisa berhasil dalam penjualan/selling?". "Mengapa bapak mengajukan pertanyaan ini?", saya balik bertanya. "Saya telah mengikuti sangat banyak pelatihan. Namun, saya merasakan ada sesuatu, di dalam diri saya, yang terus menghambat diri saya. Saya tidak bisa bekerja secara maksimal", jawab peserta ini.

Saya lalu menjelaskan mengenai Konsep Diri. Bagaimana pengaruh Konsep Diri terhadap kinerja kita. Bila Konsep Diri kita positip maka akan sangat mudah bagi kita untuk meraih keberhasilan. Sebaliknya, bila Konsep Diri buruk maka kita akan sangat sulit berhasil, di bidang apa saja yang kita lakukan. Prestasi hidup kita berbanding lurus dengan Konsep Diri kita. Konsep Diri sebenarnya adalah operating system yang menjalankan komputer mental kita.

"Kalau memang Konsep Diri itu sedemikian penting, lalu mengapa kebanyakan orang Konsep Dirinya kurang baik? Hal ini tercermin dari prestasi hidup mereka yang biasa-biasa. Bisa Bapak jelaskan asal muasal terbentuknya Konsep Diri?", kejarnya lagi.

Nah, pertanyaan saya pada anda, pembaca, "Sejak kapankah Konsep Diri ini mulai terbentuk? Faktor apa saja yang mempengaruhi pembentukan Konsep Diri?"

Apa yang saya uraikan di bawah ini adalah jawaban saya kepada peserta seminar itu.

Proses pembentukan Konsep Diri dimulai sejak kita dilahirkan. Ada dua masa kritis yang perlu kita, sebagai orangtua dan pendidik, cermati. Periode pertama adalah pada usia 0?6 tahun. Periode ini sebenarnya terbagi dua, yaitu usia 0?3 thn dan 3?6 thn. Apa yang terbentuk pada tiga tahun pertama dalam hidup seorang anak merupakan fondasi yang akan digunakan sebagai landasan untuk mengkonstruksi dirinya pada tiga tahun ke dua. Selanjutnya apa yang telah terbentuk pada 6 tahun pertama hidup anak, akan digunakan sebagai fondasi untuk mengembangkan diri lebih lanjut.

Masa kritis selanjutnya adalah saat anak masuk SD. Lima tahun pertama hidup anak di SD merupakan masa kritis yang jarang atau bahkan tidak pernah diperhatikan orangtua dan pendidik. Mengapa lima tahun di SD ini sangat penting?

Semua ini berhubungan dengan sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah. Di Indonesia, anak SD kelas 1 sudah dibebani dengan minimal 9 (sembilan) mata pelajaran. Hebatnya lagi, anak-anak kita "harus" bisa mencapai nilai yang bagus. Kalau tidak baik nilainya maka akan dicap anak bodoh, bloon, tolol, goblok, telmi, otak udang, idiot,dan masih banyak istilah "keren" lainnya (maaf bila saya menggunakan kata-kata yang kurang santun).

Dari semua bidang studi, ada dua bidang studi yang menjadi kunci pembentukan Konsep Diri anak. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan di Spanyol.

Kedua bidang studi itu adalah matematika dan bahasa. Mengapa matematika dan bahasa? Di seluruh dunia, saat anak masih di SD, yang diutamakan adalah 3R yaitu Reading, Writing, and Arithmetic. Atau kalau dalam bahasa Indonesia adalah 3M yaitu Membaca, Menulis, dan Menghitung.

Saya setuju dengan pentingnya anak menguasi 3M dengan alasan berikut. Pertama, bahasa adalah kunci untuk memahami bahan ajar. Anak yang lemah kemampuan bahasanya akan sangat sulit untuk bisa mempelajari bahan ajar yang disampaikan guru. Mengapa? Karena semua bahan ajar disampaikan dengan menggunakan bahasa sebagai media atau pengantar. Kedua, matematika sangat penting untuk mengembangkan logika berpikir dan sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.

Saya teringat saat dua tahun lalu saya dan istri ke Singapore untuk mencari buku Sains kelas 1 SD. Kami berencana menggunakan buku Sains ini di sekolah kami, Anugerah Pekerti. Oleh staff di toko buku itu kami diberi tahu bahwa di Singapore, selama 2 tahun pertama anak di SD, mereka hanya diajarkan 3 bidang studi, yaitu bahasa Inggris, Matematika, dan bahasa Ibu (misalnya Mandarin, Melayu, India). Bidang studi lainnya baru diajarkan mulai kelas 3 SD.

Saya mendapat penjelasan bahwa hal ini disengaja agar saat anak mempelajari suatu materi, saat mereka kelas 3 SD, mereka telah mempunyai fondasi yang kuat yaitu kemampuan baca, tulis, dan hitung yang baik. Bandingkan dengan apa yang harus dijalani anak-anak kita di Indonesia. Saat kemampuan berbahasa mereka masih belum bagus anak, di Indonesia, telah dituntut untuk mempelajari sangat banyak materi. Ditambah lagi, pada umumnya anak didik kita lemah di Matematika.

Anda mungkin bertanya, "Mengapa kemampuan bahasa dan matematika yang kurang baik dapat berpengaruh negatip terhadap Konsep Diri seorang anak?"

Sebelum saya menjawab pertanyaan di atas, saya ingin menyampaikan hasil penelitian yang dilakukan di propinsi Almeria di Spanyol, dengan menggunakan SDQ Questionnaire. Penelitian ini dilakukan terhadap 245 murid SD. Hasil dari penelitian itu menyebutkan bahwa bidang studi yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap Konsep Diri anak adalah bahasa dan matematika.

Intisari dari penelitian itu adalah sebagai berikut:

1. Prestasi akademik menentukan konsep diri
Pengalaman akademik, baik keberhasilan maupun kegagalan, lebih mempengaruhi
konsep diri anak, daripada sebaliknya.
2. Level konsep diri mempengaruhi level keberhasilan akademik

3. Konsep diri dan prestasi akademik saling mempengaruhi dan saling menentukan

4. Terdapat variabel lain yang dapat mempengaruhi konsep diri dan prestasi akademik

Sekarang coba kita cermati apa yang terjadi di sekolah? Anak, sejak SD kelas 1, telah dijejali dengan begitu banyak materi yang harus dipelajari. Pada saat itu, misalnya, kemampuan bahasanya masih kurang bagus. Lalu apa akibatnya? Nilai yang dicapai anak kurang maksimal karena faktor bahasa yang menjadi penghambat. Karena sering mendapat nilai buruk, guru dan orangtua mulai memberi label "bodoh" pada anak ini. Yang terjadi selanjutnya adalah proses pemrogramam atau lebih tepatnya "pembodohan" anak karena Konsep Diri anak buruk.

Lalu bagaimana dengan matematika. Ini setali tiga uang. Proses pembelajaran matematika di SD sangat tidak manusiawi, bertentangan dengan cara belajar anak, dan sama sekali tidak fun. Di mana saja, bila saya memberikan seminar pendidikan, saya selalu bertanya pada orangtua maupun guru, "Apa mata pelajaran yang paling dibenci atau ditakuti anak didik?". Jawabannya selalu sama, "Matematika". Mengapa anak sampai takut atau benci matematika?

Cara mengajar matematika di sekolah pada umumnya bersifat abstrak. Apa maksudnya? Jika kita mengacu pada Piaget (teori perkembangan kognitif) dan Montessori (proses konstruksi diri anak) maka pada usia SD anak harus belajar dengan cara konkrit. Konkrit maksudnya adalah ada benda yang bisa dilihat dan dipegang anak saat anak belajar simbol matematika. Angka "1", "2", "3", dan seterusnya, ini adalah simbol dan bersifat abstrak. Untuk bisa benar-benar memahami konsep matematika, urutan pembelajaran yang benar adalah dari konkrit, semi abstak, dan abstrak. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah gaya belajar dan kepribadian anak. Setiap gaya belajar membutuhkan strategi yang berbeda.

Saat ini banyak orangtua, khususnya para ibu, yang bangga karena anaknya, yang masih SD kelas 1 atau 2, dapat dengan cepat menghitung perkalian 3 digit x 3 digit, karena ikut kursus menghitung cepat. Hal yang sering mereka abaikan adalah mereka tidak tahu apakah anak menguasai konsep dengan benar atau tidak. Saya pernah bertanya pada seorang ibu yang sedemikian bangga dengan anaknya yang bisa menghitung cepat, "Bu, 3 x 1 itu artinya apa?". "Lha, 3 x 1 sama dengan 3", jawabnya cepat. "Benar. Saya tahu bahwa 3 x 1 itu sama dengan 3. Dan 1 x 3 juga sama dengan 3. Tapi, secara konsep ini berbeda. 3 x 1 itu apakah 1-nya 3 kali (1+1+1) atau 3-nya satu kali (3)", tanya saya lagi.

Setelah berpikir sejenak dan mungkin agak kaget karena mendapat pertanyaan yang sangat "remeh" ini akhirnya ia menjawab, "Lha, 3 x 1 itu berarti 3-nya satu kali". "Ibu yakin dengan jawaban ini", tanya saya lagi. "Yakin Pak", jawabnya. Saya tahu kalau ia tidak yakin dengan membaca bahasa tubuhnya.

"Bu, kalau di resep dokter tertulis 3x1, ini apakah ibu akan memberi anak ibu 3 kapsul sekali minum atau satu kapsul sebanyak 3 x. Satu di pagi hari, satu di siang hari, dan satu di malam hari?", tanya saya lagi.

Mendengar pertanyaan ini wajahnya langsung merah dan ia tersenyum kecut sambil berkata, "Ya sudah tentu satu kapsul satu kali minum. Lha kalo tiga kapsul sekali minum anak saya bisa overdosis. Bapak ini nggak tahu atau pura-pura nggak ngerti?", jawabnya sambil cepat berlalu.

Hal yang tampak remeh ini akan berakibat sangat fatal terutama saat anak duduk di SD kelas 4 dan seterusnya. Saat ini, bila dasar matematika dan bahasanya tidak kuat, maka prestasi akademiknya akan jelek. Prestasi akademik yang buruk, sekali lagi, sangat berpengaruh terhadap Konsep Diri anak. Persis sama seperti hasil penelitian di Spanyol. Konsep Diri yang buruk akan terbawa hingga dewasa dan mengakibatkan anak tidak bisa berprestasi maksimal dalam hidupnya.

Saat anak tidak menguasai konsep yang benar, ditambah lagi kemampuan bahasanya masih minim, lalu anak diberi soal cerita, apa yang terjadi? Habislah anak kita. Nilainya pasti jeblok. Hal ini, kalau terjadi berulang kali (repetisi), ditambah lagi orangtua atau guru mengatakan dirinya bodoh (informasi dari figur yang dipandang memiliki otoritas), ditambah lagi emosi yang intens yang terjadi dalam diri seorang anak, maka langsung menghasilkan pemrograman pikiran bawah sadar yang sangat powerful. Celakanya lagi, ini program negatip, dalam bentuk Konsep Diri yang buruk.

Lalu apa ciri-ciri anak dengan Konsep Diri yang buruk? Pertama,
anak tidak atau kurang percaya diri. Kedua, anak takut berbuat salah. Ketiga, anak tidak berani mencoba hal-hal baru. Keempat, anak takut penolakan. Dan yang kelima, anak tidak suka belajar dan benci sekolah
.

Ada satu buku bagus yang ditulis kawan karib saya, Ariesandi Setyono, yang berjudul "Mathemagics ? Cara Jenius Belajar Matematika", yang perlu anda baca. Buku ini menjelaskan secara detil proses pembelajaran matematika yang benar. Aries, dengan cara yang sangat luar biasa , mampu membuat anak didiknya, dengan hati gembira, mengerjakan soal latihan matematika sebanyak 26 (dua puluh enam) halaman non stop. Baru-baru ini Aries kembali mampu membuat anak didiknya, murid SD kelas 1 dan 2, mengerjakan soal-soal latihan matematika selama 120 (seratus dua puluh) menit non stop. Saat diminta berhenti, muridnya malah ngomel dan minta terus. Murid mengerjakan soal dengan hati riang, sama sekali tanpa ada tekanan atau stress. Untuk soal ujian akhir semester, Aries memberikan 200 (dua ratus) soal yang harus dikerjakan muridnya, bukan pilihan ganda. Semua anak mampu mengerjakan hanya dalam waktu rata-rata 45 menit dengan nilai rata-rata kelas 85.

Konsep Diri yang positip sangat penting bagi seorang anak dan juga untuk orang dewasa. Fondasi yang rapuh (Konsep Diri jelek) tidak memungkinkan kita untuk bisa membangun gedung bertingkat (sukses) di atasnya.

Anak dilahirkan dengan potensi menjadi seorang jenius namun proses "pendidikan" yang salah telah membuat anak tidak mampu mengembangkan potensinya secara optimal. Saya menamakan kondisi ini sebagai "idiot". Kita tidak menyadari potensi diri yang sesungguhnya. Kalaupun kita tahu dan sadar akan potensi ini kita merasa tidak mampu untuk mengembangkannya secara optimal.



Yes... You are Indeed A Genius

Our only limitations are those which we set up in our minds or permit others to establish for us ? Elizabeth Arden

Saya mendapat banyak email menanggapi artikel saya sebelumnya yang berjudul "Born to be a Genius but conditioned to be an Idiot". Banyak yang bertanya lebih lanjut dan berdiskusi mengenai topik ini.

Pertengahan bulan Februari 2006 ini saya diundang berbicara di hadapan sekitar 2.000 orangtua, murid, dan guru. Kembali saya menekankan bahwa sebenarnya kita terlahir dengan potensi menjadi seorang jenius. Meskipun demikian tetap ada yang skeptis dan meminta penjelasan lebih lanjut.

Para pembaca, tahukah anda bahwa seorang manusia, saat dilahirkan, telah memiliki sekitar 100 miliar sel otak aktif dan 900 miliar sel otak pendukung? Total "bekal" kita saat nongol di bumi adalah sekitar 1 triliun sel otak. Dan Tuhan Maha Adil dan Maha Penyayang. Semua anak manusia dibekali dengan jumlah sel otak yang sama. Tidak ada diskon dan tidak ada bonus.

Bandingkan dengan siput yang hanya memiliki 8 sel otak, lebah 7 ribu sel , lalat buah 100 ribu sel , tikus 5 juta sel, dan monyet 10 miliar sel otak. Hewan-hewan ini, dengan jumlah sel otak yang jauh di bawah yang dimiliki manusia, ternyata menunjukkan kecerdasan yang luar biasa.

Ambil contoh lebah. Lebah, hanya dengan bekal 5 ribu sel otak, mampu mencari madu, tidak perlu menggunakan peta atau kompas, mengerti hirarki tugas dan tanggung jawab, dan dapat hidup akur dalam satu koloni. Luar biasa bukan? Bagaimana dengan manusia?

Untuk lebih memudahkan saya menjelaskan maksud saya, mengenai kejeniusan kita, maka saya akan menggunakan analogi komputer. Maksudnya, otak kita saya ibaratkan seperti komputer.

Saat kita dilahirkan, secara hardware, sebenarnya perangkat keras kita kurang lebih sama. Kalau ada bedanya maka yang berbeda adalah kecepatan processor-nya. Dalam artikel ini saya hanya akan membahas otak manusia normal. Saya tidak membahas yang mengalami kerusakan otak atau kalau dalam istilah komputer ada yang bad sector.

Kecepatan processor setiap orang mungkin berbeda. Katakanlah ada yang Pentium 4, 3 GHz. Ada juga yang kecepatannya 2,7 GHz, 2,5 GHz, atau sekitar 2 GHz. Meskipun secara basic kecepatannya berbeda namun bila kita gunakan untuk menjalankan program, maka semuanya bergantung pada Operating System yang kita gunakan. Kecepatan proses memang akan sedikit berbeda namun hasil akhirnya sama. Misalnya kita mengetik menggunakan MS-Word. Tidak jadi masalah berapa kecepatan processor-nya, toh, ujung-ujungnya kita bisa menyelesaikan kerja kita dengan baik.

Yang kecepatan processor-nya tinggi ini yang kita kenal dengan anak-anak yang cemerlang atau berbakat. Kalau untuk ukuran sekolah maka anak ini masuk kategori anak dengan kemampuan akademik tinggi atau jenius.

Lalu bagaimana dengan yang kecepatan processor-nya agak rendah? Sabar dong. Saya akan jelaskan setelah pesan-pesan berikut.

Saat kita lahir, kita dibekali dengan beberapa program dasar, semacam BIOS. Kalau merujuk pada ilmu psikologi, khususnya pemikiran Piaget, maka program dasar ini disebut schema. Selanjutnya, kita menggunakan schema untuk berinteraksi dengan lingkungan, dan kita mulai mengembangkan diri kita. Kita mulai "meng-
install
" program-program untuk menjalankan komputer mental atau Neck-Top Computer kita.

Nah, program-program ini, khususnya program yang menjadi Operating System/OS, akan menentukan seberapa maksimal kerja komputer mental kita. Bisa anda bayangkan bila Pentium 4 dijalankan dengan DOS 3.0 atau Windows 95. Semakin canggih OS yang digunakan sudah tentu akan sangat maksimal kinerja perangkat komputer kita, bukan?

Bagaimana dengan kapasitas hard disk/memori kita? Nggak usah khawatir. Kita dibekali dengan hard disk yang sangat besar kapasitasnya. Majalah Scientific American, edisi November 2005, memuat satu artikel mengenai hasil penelitian terkini mengenai kapasitas otak dalam menyimpan informasi. Untuk bisa mengisi penuh hard disk otak maka kita harus belajar satu hal baru setiap detik selama 30 juta tahun. Benar, anda tidak salah baca, selama 30 juta tahun.

So, sejauh ini anda pasti sudah haqul yaqin bahwa secara hardware kita memang luar biasa. Kita punya potensi untuk menjadi jenius. Saya katakan "potensi", bukan "pasti jenius". Why? Karena semua kembali kepada OS yang terpasang di komputer mental kita. Inipun dengan syarat bahwa komputer mental kita tidak terkena virus. Kalau sudah terkena virus kinerjanya akan menurun drastis. Komputer akan bekerja sangat lambat, sering restart sendiri, dan hang. Hang kalau dalam konteks sekolah adalah anak mogok belajar.

Beberapa waktu lalu saya menangani dua orang kakak beradik. Si kakak, IQ-nya 130, namun sudah dua kali tidak naik kelas. Saat itu ia duduk di kelas 2 SMU swasta top di Surabaya. Akibatnya? Harus out, dan pindah sekolah lain. Adiknya juga mengalami problem yang sama. IQ adiknya 135 dan sudah hampir dikeluarkan karena masalah disiplin dan pelanggaran tata tertib sekolah. Prestasi akademiknya? Biasa-biasa dan cenderung rendah.

Kemarin, kembali saya diminta menangani anak SD kelas 6. Anak ini, sebut saja Angga, memiliki IQ superior (pada kisaran antara 131 ? 140). Apa problemnya? Angga punya masalah di bidang studi matematika. Untuk pelajaran yang lain nilainya sangat tinggi. Namun khusus matematika, nilainya hanya sekitar 4 hingga 7 saja.

Saat pertama kali bertemu saya bertanya, "Angga, apa kesan yang muncul di pikiran Angga saat mendengar kata matematika?". "Nggak suka, Pak", jawabnya cepat dan mantap. "Mengapa nggak suka?", kejar saya lagi. "Pokoknya saya nggak suka", jawabnya singkat.

Saya lalu menjelaskan kepada ibunya Angga, yang kebetulan kawan dekat saya, bahwa "program" matematika yang ada di komputer mental anaknya telah terinfeksi virus dan harus segera di"scan" dan di"repair".

Saya lalu membantu Angga, dengan menggunakan teknik terapi tertentu, men-scan dan me-repair file pikirannya yang kena virus. Hasilnya? Luar biasa. Hanya dalam satu sesi terapi Angga langsung berubah menjadi suka matematika. Ibunya sudah tentu sangat gembira dengan keadaan ini.

Dari sesi terapi ini saya berhasil menemukan bahwa program matematika Angga mulai terinfeksi virus sejak di kelas 3 SD. Bagaimana kejadiannya? Ternyata Angga tidak mengerti apa yang gurunya terangkan. Dan saat ulangan Angga mendapat nilai jelek beberapa kali. Dari sini Angga mulai merasa bodoh di bidang matematika dan tidak suka segala sesuatu yang berbau matematika.

Selanjutnya saya, secara halus, memaksa Angga untuk meningkatkan nilai matematikanya. Caranya? Saya men-set goal dan sekaligus reward yang akan didapat Angga bila berhasil mencapai target nilai yang ditetapkan. Angga sangat antusias dengan "permainan" ini.

Para pembaca yang budiman. Sampai sejauh ini saya yakin anda kini pasti mengerti bahwa setiap anak punya potensi untuk menjadi jenius. Hanya saja yang berpengaruh besar, selain kondisi hardware, adalah OS dan software yang terpasang di komputer mentalnya.

Anda mungkin bertanya, "Apakah OS yang paling baik untuk menjalankan komputer mental kita?". OS yang paling ciamsor atau ciamik soro adalah Konsep Diri Positif. Penjelasan mengenai Konsep Diri dan proses pembentukannya saya jelaskan di buku-buku yang saya tulis.

Contoh software yang saya maksudkan antara lain adalah teknik menghapal. Selama ini anak (kita) tidak pernah diajar cara atau teknik menghapal yang benar, yang sesuai dengan prinsip kerja pikiran dan memori. Yang terjadi selama ini adalah anak "dihajar" untuk menghapal begitu banyak materi tanpa tahu caranya.

Baru-baru ini saya meminta seorang anak SD kelas 5 untuk menghapal 20 kata acak. Setelah dicoba selama dua menit anak ini hanya mampu menghapal 5 kata. Inipun tidak secara urut. Maklum, software untuk menghapal yang ia gunakan adalah peninggalan jaman pra sejarah, sudah sangat kuno. Setelah saya jelaskan cara menghapal yang benar dan saya tuntun, dalam waktu yang sama, dua menit, anak ini mampu dengan sempurna menghapal 20 kata itu. Orangtua si anak yang menyaksikan demonstrasi ini sampai terkaget-kaget, nggak percaya dengan apa yang mereka saksikan.

Contoh lain? Minggu lalu, saat saya memberikan seminar bagi sekitar 2.000 orangtua, murid dan guru, saya mengajukan satu pertanyaan yang mengagetkan mereka, "Bapak dan Ibu, apakah mungkin anak TK B akhir atau SD kelas 1 awal, diajar tabel perkalian, misalnya perkalian 9, selama hanya 2 sampai 5 menit, dan anak mampu mengingat 9x1 sampai 9x10 dengan sempurna, untuk selamanya?".

Semua yang hadir menggelengkan kelapa eh? kepala mereka tanda bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan. Baik guru maupun orangtua berkata, "Untuk perkalian 9, ini diajarkan di kelas 3, Pak. Nggak mungkin bisa dikuasai anak TK B hanya dalam waktu 2 sampai 5 menit". Mengapa mereka berkata tidak mungkin? Karena software matematika mereka tidak memungkinkan hal ini terjadi.

Saya lalu mengajarkan caranya hanya dalam waktu 1 menit, karena mereka adalah orang dewasa. Setelah itu banyak yang berkomentar, "Wah, ternyata gampang banget. Saya nggak nyangka kalau ternyata hal ini bisa dilakukan. Coba dulu waktu saya kecil sudah mengerti cara ini, pasti matematika menjadi begitu mudah dan menyenangkan".

Kecanggihan software yang terpasang sangat menentukan prestasi yang dicapai seseorang. Ibaratnya, jika kita menggunakan program WS 5.0 (Word Star) dan MS-Word 2003, hasilnya pastinya akan berbeda. Mengapa? Karena MS-Word jauh lebih canggih dari pada WS.

So, pastikan bahwa kita sering meng-upgrade brain software kita. Kalau perlu, misalnya ada software baru yang lebih canggih, kita harus meng-uninstall software lama yang telah kita gunakan selama ini dan menggantinya dengan software baru yang jauh lebih unggul kinerjanya.


Becoming a Great Teacher

Mediocre teacher tells
Good teacher explains

Superior teacher demonstrates

Great teacher inspires

William A. Ward


Minggu lalu saya ke Jakarta mengikuti peluncuran buku The 8th Habit karya DR. Stephen R. Covey. Satu hal menarik yang disampaikan oleh Covey adalah, "I am more a teacher than a speaker". Intisari dari buku Covey yang paling anyar ini adalah bagaimana kita bisa menemukan tujuan hidup kita dan selanjutnya membantu orang lain melakukan hal yang sama. Atau dalam bahasa Covey, "Find your inner voice and inspire others to find theirs". Hal lain yang sangat berkesan yang saya dapatkan dari seminar ini adalah saat Covey berkata, "Leadership is communicating people's worth and potential so clearly that they are inspired to see it in themselves". Wow... satu statement yang begitu indah dan luar biasa yang membuat saya sangat terinspirasi.

Mengapa Covey mengatakan bahwa ia lebih sebagai seorang guru dari pada pembicara? Saat Covey mengucapkan statement ini saya langsung teringat pada kata-kata bijak William A. Ward di atas. Covey adalah seorang Great Teacher karena ia mampu menginspirasi orang lain. Saat itu juga saya teringat apa yang baru-baru ini saya lakukan dengan seorang murid SMU yang mengalami "masalah". Anda jangan salah mengerti. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa saya ini sama seperti Covey. Yang ingin saya sampaikan adalah saya sangat senang karena apa yang saya lakukan telah sejalan dengan inspirasi yang saya dapatkan dari Covey. Dan jika saya bisa maka anda juga pasti bisa melakukannya.

Baru-baru ini saya diminta membantu anak SMU kelas 1, sebut saja Budi, yang menurut orangtua dan sekolahnya, adalah anak bermasalah. Saat pertama kali bertemu, Budi datang bersama ayahnya. Lebih tepatnya, ayah Budi membawa anaknya bertemu saya. Setelah ngobrol santai beberapa saat, saya melihat apa yang sebenarnya menjadi duduk persoalan. Yang pertama, Budi tidak mempunyai figur yang bisa menjadi idola atau panutan hidupnya sehingga ia sama sekali tidak tahu mau menjadi seperti siapa (diri ideal). Kedua, Budi memandang dirinya sebagai anak yang bermasalah dan gagal di sekolah karena orangtua dan sekolah memandang dirinya seperti itu (Citra Diri). Ketiga, Budi tidak tahu apa gunanya ia sekolah. Ia tidak tahu tujuan hidupnya.

Seperti kebanyakan anak muda, penampilan Budi agak berantakan. Telinga kirinya di"tindik". Baju yang dipakainya saat itu jauh dari rapi dan celana panjangnya adalah celana jean yang di bagian paha depan, kiri dan kanan, robek (modelnya memang seperti itu). Selain itu Budi datang dengan menggunakan sandal. Setelah selesai berdiskusi saya meminta Budi, untuk sesi konseling selanjutnya, datang sendiri namun dengan satu syarat. Saya minta ia untuk mengubah penampilannya. Bila ia tidak mau maka saya tidak akan memberikan waktu saya. Saya minta Budi untuk berpakaian rapi, pakai celana dari bahan kain, bukan jean, tidak boleh ada "tindik" di telinganya, pakai jam tangan, ada pen di kantong bajunya, dan harus pakai sepatu.

Mengapa saya "memaksa" Budi untuk melakukan hal ini? Saya ingin mengetahui seberapa besar keinginannya untuk berubah. Apakah ia bersedia membayar harga untuk itu? Apakah ia bersedia keluar dari zona kenyamanannya? Hal paling penting adalah saya ingin mengubah cara ia memandang dirinya, dari no-body menjadi some body. Langkah paling mudah, sebelum saya membantu Budi dari dalam (mental) adalah dengan mengubah penampilan luarnya. Ini ada hubungannya dengan Citra Diri. Dan ini adalah bagian dari terapi yang akan saya lakukan.

Benar. Saat pertemua kedua, Budi datang sendiri dengan penampilan yang berubah total. Saya memuji perubahan dirinya. Setelah aspek luarnya di-obok-obok, kini saya masuk ke aspek mentalnya. Sejak dari awal saya telah memandang dirinya sebagai seorang pemenang. Saya menyampaikan hal ini secara terbuka. Saya tahu ia tidak atau belum percaya pada dirinya. Dan saya juga tahu bahwa saya bisa membuat ia percaya apa yang saya katakan. Mengapa? Ingat prinsip kerja pikiran bawah sadar di artikel saya sebelumnya? Saya tahu Budi memandang saya sebagai orang yang memiliki otoritas. Jadi apa yang saya lakukan ? Saya memanfaatkan pengetahuan saya tentang cara kerja pikiran, masuk ke pikiran bawah sadarnya, dan menanam bibit-bibit pikiran positip. Saya melakukannya berkali-kali (repetisi), dengan memainkan emosinya, baik yang positip maupun yang negatip, sehingga bibit-bibit pikiran itu tertanam sangat dalam di pikirannya.

Budi lalu menunjukkan rapor sisipan yang baru ia terima. Hasilnya? Luar biasa. Gurunya ternyata kehabisan tinta biru sehingga "terpaksa" menulis nilai ujiannya dengan tinta merah. Setelah saya amati saya menemukan satu hal menarik. Meskipun hampir semua nilainya "kebakaran" namun ada dua nilai dari dua bidang studi yang pernah mendapatkan nilai sangat tinggi, yaitu Fisika 98 dan Sosiologi 93.

Saya lalu bertanya, "Bud, jawab jujur! Nilai Fisika dan Sosiologi ini apakah benar-benar nilai yang kamu capai sendiri atau kamu nyontek?". "Saya capai sendiri Pak", jawab Budi tegas. Saya tahu bahwa ini jawaban jujur dengan membaca bahasa tubuhnya.
"Ok. Kalau begitu, jawaban kamu membenarkan keyakinan saya terhadap dirimu. Saya tahu kamu anak cerdas dan mampu. Nilai merah di rapormu itu sebenarnya bukan karena kamu tidak mampu tapi karena kamu tidak belajar. Benar seperti itu?", tanya saya lagi. "Benar Pak", jawab Budi sambil menundukkan kepala. "Bud, kalau bicara dengan saya, saya mau kamu bicara dengan kepala tegak dan menatap mata saya", perintah saya. "Kamu tidak mau belajar karena kamu merasa bahwa sekolah sebenarnya tidak ada gunanya bagi kamu. Apa benar seperti itu pemikiranmu?", kejar saya lagi. "Benar Pak", jawab Budi sambil menatap saya.

Budi selanjutnya bercerita bahwa ia telah diskors selama 1 minggu dan akan dikeluarkan oleh sekolah. Ia ingin pindah ke sekolah lain dan ia berjanji akan berubah bila ia telah pindah sekolah. Mendengar cerita ini saya lalu berkata, "Bud, kalau kamu mau belajar dari saya, maka yang pertama harus kamu mengerti adalah kita harus melakukan segala sesuatu dengan alasan yang benar dan dengan rasa bangga. Jangan mau dikeluarkan. Ini sungguh memalukan. Kalau kamu dikeluarkan maka hal ini sama dengan kamu diusir karena kamu dianggap sebagai pesakitan atau kriminal. Apalagi dengan nilai yang jelek. Kalau mau, kamu yang memutuskan keluar dari sekolahmu. Tapi nanti setelah naik kelas 2. Kamu pindah sekolah tapi dengan nilai rapor yang tinggi, kalau perlu kamu masuk 5 besar di kelasmu. Saat itu sekolahmu akan memohon-mohon kamu untuk tidak pindah karena akan kehilangan murid cerdas. Nah, kalau kamu pindah saat itu, kamu pindah atau keluar dari sekolah dengan dada yang busung, bangga dan gagah. Kamu mengerti hal ini ?". "Ya Pak", jawab Budi.

Selanjutnya saya berkata, "Bud, saya melihat dirimu seperti seorang burung elang yang mampu terbang sangat tinggi. Kamu bukan ayam. Ayam matinya karena dipotong. Elang matinya karena usia tua setelah terbang tinggi menjelajahi dunia. Kamu adalah elang, bukan ayam. Jangan pernah mau menjadi seekor ayam. Saya bersedia membantu kamu karena saya melihat kamu sebagai seekor elang. Saya hanya mau melatih elang. Saya tidak pernah mau repot dengan ayam.Tahu mengapa? Karena ayam memang nggak bisa terbang tinggi. Kalau selama ini sekolah, guru, dan kepala sekolahmu memadang kamu seperti ayam, ini karena mereka tidak tahu siapa diri kamu yang sesungguhnya. Mari kita buktikan pada mereka siapa kamu sesungguhnya. Kamu adalah seekor elang. Masuk 5 besar di kelasmu itu sangat mudah. Kamu punya kemampuan untuk itu".

Saya melihat ia agak bingung setelah mendengar cerita saya. Kemudian ia berkata, "Jujur Pak, baru kali ini ada orang yang bicara seperti ini pada saya. Biasanya saya hanya ditegur, dimarah, dihukum, dan dikucilkan karena dianggap anak nakal dan membuat masalah untuk sekolah. Guru BP saya tidak pernah bicara seperti ini pada saya".

Setelah merasa cukup dengan "programming", saya lalu memberikan gambaran akan masa depan yang bisa ia capai. Kemungkinan-kemungkinan yang bisa ia pilih dalam hidupnya. Saat itu ia mulai terlihat semangat. Ia mulai bisa melihat hubungan antara sekolah dan masa depan.

Selanjutnya saya membantu Budi menyusun goal atau target pembelajaran. Berapa nilai yang akan ia capai untuk tiap mata pelajaran. Mengapa ia perlu mencapai target itu. Mengapa ia bisa mencapainya. Bagaimana ia mengatur dirinya dengan lebih baik sehingga waktu yang ada dapat digunakan secara efektif dan efisien.

Saya lalu menjelaskan bahwa semua bidang studi yang diajarkan di sekolah sebenarnya masuk dalam 4 kategori yaitu kategori bahasa, konsep, kombinasi, dan hapalan. Yang masuk kategori bahasa misalnya pelajaran bahasa Indonesia dan Inggris. Kategori konsep contohnya matematika. Kategori kombinasi contohnya Fisika, Kimia, dan Akuntansi. Hapalan contohnya Biologi, Sosiologi, dan Sejarah. Setiap kategori menuntut strategi belajar yang berbeda. Saya lalu mengajarkan cara belajar yang benar untuk masing-masing kategori.

Setelah itu saya mengajarkan strategi untuk mengerjakan ujian. Mengapa? Karena setiap tipe soal menuntut cara mengerjakan yang berbeda. Misalnya tes multiple choice, esai, menjawab singkat atau melengkapi, soal cerita, tes jawaban pasti atau soal objektif, dan performans.

Budi berkata,"Sekolah saya nggak pernah mengajarkan seperti yang Bapak ajarkan pada saya. Saya baru tahu kalau setiap mata pelajaran menuntut strategi belajar yang berbeda". "Bukan hanya sekolahmu saja yang nggak pernah melakukan hal ini. Hampir semua sekolah sama sekali tidak pernah mengajarkan murid-murid mereka cara belajar yang benar", jawab saya.

Budi pulang dengan antusiasme baru. Ia berjanji akan memberikan laporan mengenai hasil ujian yang ia capai. Dari guru lesnya saya mendapat kabar bahwa Budi telah berubah. Sikap, semangat, dan cara pandangnya terhadap dirinya telah berubah. Ia lebih fokus.

Apakah saya bangga? Sudah tentu. Berapa saya dibayar untuk sesi konseling ini? Orangtuanya memaksa saya untuk menetapkan fee. Saya menolak. Saya lebih suka menggunakan pendekatan NATO alias No Angpao Thanks Only. Mengapa saya mau melakukan ini? Karena saya melihat orangtuanya serius ingin membantu anaknya berubah. Jika orangtuanya tidak serius atau ogah-ogahan maka saya pasti akan menetapkan harga yang tinggi untuk "memaksa" orangtuanya melakukan apa yang saya minta mereka lakukan. Orangtua Budi, khususnya ayahnya, bersedia melakukan apa yang saya minta sebagai dukungan pada anaknya dalam menjalani proses transformasi diri. Keseriusan orangtua Budi dalam hal ini sudah merupakan bayaran bagi saya dan ini tidak bisa dinilai dengan rupiah. Mengapa? Karena saya yakin, saat Budi bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang cakap dan berhasil, maka ia akan dapat menjalani suatu kehidupan yang bermakna tidak hanya bagi dirinya sendiri, namun juga untuk keluarganya, dan masyarakat. Ingat pesan Covey , "Find your inner voice and inspire others to find theirs".

Peran Orangtua Menunjang Keberhasilan Hidup Anak

Didiklah anak-anakmu untuk masa yang bukan masamu ? Ali Bin Abi Thalib r.a.

Semua orangtua berharap anak mereka kelak akan menjadi pribadi yang sukses dalam hidup. Orangtua berlomba-lomba untuk menyekolahkan anak mereka di lembaga pendidikan terbaik. Namun apakah benar bahwa pendidikan formal adalah jaminan keberhasilan hidup anak? Jawabannya TIDAK!

Untuk bisa membantu anak berhasil dalam hidupnya kelak, orangtua perlu mencermati hal-hal mendasar yang dibutuhkan anak sebagai pondasi keberhasilan hidup. Hal mendasar yang harus benar-benar diperhatikan antara lain adalah
konsep diri, sikap, kepribadian, karakter, nilai hidup, kepercayaan, kejujuran, kepemimpinan, kemampuan komunikasi, kedisiplinan, dan motivasi yang tinggi.

Secara ringkas, orangtua perlu memperhatikan hal-hal berikut:

  • Membantu anak mengenali dirinya (kekuatan dan kelemahannya)

  • Membantu anak mengembangkan potensi sesuai bakat dan minatnya

  • Membantu meletakkan pondasi yang kokoh untuk keberhasilan hidup anak

  • Membantu anak merancang hidup

Peletakan pondasi sukses diawali sejak anak lahir dan berlanjut hingga tiga tahun pertama. Selanjutnya, dengan bekal yang didapat selama tiga tahun pertama dalam hidupnya, anak mengembangkan dirinya untuk tiga tahun ke dua. Enam tahun pertama merupakan masa yang sangat kritis dalam hidup anak. Apa yang didapat selama masa ini merupakan dasar untuk anak dalam mengkonstruksi dirinya pada enam tahun ke dua dan ke tiga.

Proses pendidikan yang dilalui anak pada masa sekarang ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi pendidikan dapat membantu seorang anak untuk mengembangkan kapasitas intelektualnya. Di sisi lain pendidikan, karena proses yang salah, sering kali justru menjadi penghambat hidup anak kelak. Mengapa bisa begini?

Masa kritis anak, dalam proses pendidikan formal, adalah selama lima tahun pertama mereka di SD. Masa ini merupakan masa yang sangat menentukan karena sering kali konsep diri anak dan rasa diri mampu dan berharga justru rusak akibat proses pembelajaran yang tidak manusiawi yang hanya menempatkan anak sebagai obyek pendidikan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di luar negeri terhadap murid SD kelas 1 sampai 6, didapatkan fakta bahwa pembentukan konsep diri yang terjadi saat anak di SD sangat dipengaruhi oleh prestasi akademiknya. Prestasi akademik seorang anak menentukan konsep diri anak. Selanjutnya konsep diri akan mempengaruhi prestasi akademik. Pada tahap selanjutnya konsep diri dan prestasi akademik akan saling mempengaruhi, baik secara positip maupun negatif.

Semua anak pada dasarnya terlahir dengan potensi menjadi jenius. Masing-masing anak mempunyai keunggulan di aspek kecerdasan yang berbeda. Hal ini sejalan dengan teori Multiple Intelligence. Sayangnya, sistem pendidikan kita hanya mengakomodasi dan menghargai salah dua dari delapan kecerdasan yang ada, yaitu hanya menghargai kecerdasan logika/matematika dan bahasa (linguistik).

Setiap anak mempunyai kepribadian dan keunikan tersendiri. Salah satu keunikan mereka adalah gaya belajar. Ada tiga gaya belajar yang dominan yaitu gaya belajar visual (berdasar penglihatan), gaya belajar auditori(berdasar pendengaran), dan gaya belajar kinestetik (berdasar sentuhan/gerakan). Setiap gaya belajar ini mempunyai cara belajar yang berbeda. Prestasi akademik anak yang rendah sering kali disebabkan karena guru tidak mengerti cara mengajar yang benar, yang sesuai dengan kepribadian dan gaya belajar murid.

Sekolah pada umumnya hanya menggunakan gaya belajar visual dalam proses pembelajarannya. Hal ini sangat merugikan anak dengan gaya belajar dominan auditori dan kinestetik. Anak kinestetik, karena sering bergerak dalam belajar, akan dianggap sebagai anak nakal atau hiperaktif. Label ini akan menjadi "cap" yang bersifat negatip dan akan terus terbawa hingga anak dewasa.

Sekolah selama ini tidak pernah mengajarkan anak cara belajar yang benar melalui kurikulum "belajar cara belajar". Sekolah hanya memberikan bahan ajar tanpa pernah mengajarkan strategi belajar yang sesuai untuk setiap gaya belajar.

Jangankan bicara kurikulum "belajar cara belajar", kurikulum yang ada saat ini saja masih sangat amburadul. Minggu lalu saya membaca di koran bahwa KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), yang oleh sebagian besar orangtua dan guru diplesetkan menjadi Kurikulum Bingung Kabeh (kabeh dalam bahasa Jawa artinya "semua") , ternyata tidak jadi diberlakukan setelah diujicobakan selama beberapa tahun. Ck? ck? ck? hebat nggak? Mau dibawa ke mana pendidikan anak kita? Ternyata anak kita hanya menjadi kelinci percobaan Diknas. Yang lebih gila lagi, maaf kalau saya menggunakan kata yang kurang santun, yang menjadi kelinci percobaan adalah semua anak didik di Indonesia. Anak-anak kita yang nantinya menjadi generasi penerus yang menentukan keberhasilan dan kemajuan bangsa Indonesia. KBK sudah saatnya diganti menjadi KAK. Apa itu? Kurikulum Ajur Kabeh atau Kurikulum Hancur Semua.

Hal lain yang juga sangat disayangkan adalah sekolah, pada umumnya, tidak tahu bahwa sebenarnya semua bidang studi dapat digolongkan menjadi empat kategori yaitu kategori bahasa, konsep, kombinasi, dan hapalan. Setiap kategori ini menuntut teknik atau strategi belajar yang berbeda.

Murid atau anak yang tidak tahu strategi belajar untuk setiap kategori akan mengalami kesulitan belajar yang berakibat pada pencapaian prestasi akademik yang rendah. Pencapaian prestasi akademik yang rendah akan membuat anak yakin bahwa ia adalah anak yang "bodoh". Apabila pencapaian prestasi rendah berlangsung berulang kali maka dapat dipastikan anak benar-benar menjadi bodoh, sebenarnya bukan karena anak bodoh namun lebih karena mereka percaya bahwa mereka "bodoh".

Selain perlu mengajar anak strategi belajar untuk setiap kategori anak juga perlu belajar cara membaca yang benar, cara mencatat yang benar, cara menghitung yang benar, dan cara menghapal yang benar. Ini adalah bagian dari keterampilan belajar yang harus dikuasai anak, yang sayangnya tidak pernah diajarkan di sekolah.

Langkah selanjutnya adalah mengajarkan anak strategi yang tepat untuk mengerjakan soal ujian. Mengapa? Karena setiap tipe soal menuntut cara pengerjaan yang berbeda. Misalnya soal pilihan ganda, menjawab singkat, menjodohkan, esai, dan soal cerita.

Selain perlu mengembangkan kecakapan di aspek akademik, anak juga perlu mengembangkan kecakapan lain yang sesuai dengan bakat dan minat. Untuk mudahnya orangtua dapat membantu anak mengembangkan hobi anak.

Fase kritis selanjutnya adalah saat anak di SMU. Pada masa ini orangtua harus bisa membantu anak dalam merencanakan hidup. Penetapan tujuan hidup, walaupun belum bisa dilakukan secara final pada usia remaja, akan sangat menentukan jurusan yang dipilih saat di kelas 2 SMU.

Pada banyak kasus, sering kali orangtua memaksakan kemauan mereka terhadap anak tanpa pernah mengindahkan pikiran dan suara hati anak. Orangtua sering kali merasa tahu semua yang terbaik bagi anak mereka. Pemaksaan kemauan ini semakin diperburuk oleh kerangka berpikir atau paradigma yang sudah usang, yang dijadikan pijakan berpikir para orangtua. Seringkali orangtua berusaha mewujudkan impian mereka, yang tidak dapat mereka capai saat mereka masih muda, melalui anak mereka.

Pada masa remaja (SMU) orangtua sebaiknya membantu anak untuk "melihat" masa depan, khususnya dalam aspek karir atau pekerjaan. Ada empat kuadran yang bisa dimasuki anak. Ada kuadran pegawai/karyawan, kuadran pengusaha, kuadran pemilik usaha, dan kuadran investor.

Setiap kuadran mempunyai aturan main yang sangat berbeda dan membawa konsekwensi yang juga berbeda. Tidak tepat bagi kita, selaku orangtua, untuk menentukan kuadran mana yang harus dimasuki anak saat mereka selesai kuliah. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah dengan menyiapkan mereka sebagai pembelajar seumur hidup, yang senantiasa berkembang, yang akan mampu beradaptasi dengan berbagai situasi yang dihadapi.

Semua ini bisa dilakukan anak bila pondasi hidupnya kokoh, bila konsep dirinya kuat dan positip, bila anak merasa dirinya berharga dan layak untuk sukses, dan anak tahu apa yang ia inginkan dalam hidupnya.

Dengan pondasi hidup yang kokoh maka anak akan dapat mengembangkan potensinya secara maksimal. Potensi yang merupakan anugerah dari Tuhan yang dibawa anak sejak lahir. Potensi yang akan menjadi kekuatan dan batu pijakan anak untuk meraih keberhasilan hidup di bidang apa saja.

Menggugat (Sistem) Ujian

Schools never teach us how to think
They only teach us what to think

-
Bill Gould


Kemarin saya bertemu dengan orangtua yang mengeluh bahwa anak mereka, yang menurut mereka sebenarnya sangat pintar, pencapaian prestasi akademiknya (baca: nilai ujian) tidak seperti yang mereka harapkan. Anak ini, sebut saja Aji, duduk di kelas 2 SD.

Mendengar keluhan ini saya langsung memikirkan beberapa kemungkinan, berdasarkan pengetahuan dan pengalaman saya selama ini, yang mengakibatkan nilai anak tidak maksimal. Kemungkinan-kemungkinan itu adalah:

  1. Anak memang kurang cerdas karena ada masalah mental.

  2. Anak malas atau tidak suka belajar atau suasana di rumah tidak kondusif.

  3. Pengharapan orangtua, terhadap anak mereka, terlalu tinggi.

  4. Guru tidak bisa mengajar dengan baik karena tidak menguasai teknik mengajar yang efektif dan efisien.

  5. Anak unggul di aspek kecerdasan lain, selain linguistik dan logika matematika (teori Multiple Intelligence).

  6. Anak punya trauma dalam proses pembelajaran sebelumnya sehingga menghambat proses belajarnya saat ini.

  7. Cara pengujian/tes yang kurang tepat sehingga tidak berpihak pada anak.

Saya lalu menggali lebih lanjut mengenai Aji. Kebetulan saat itu Aji ikut bersama orangtuanya sehingga saya bisa melakukan pengamatan langsung. Dari hasil pengamatan saya dapat menyimpulkan bahwa Aji adalah anak yang sangat cerdas. Mengapa? Karena Aji, meskipun baru kelas 2 SD, telah mengetahui sangat banyak hal. Misalnya, Aji tahu tentang molekul, susunan tata surya, jarak antar planet, milimeter dan nano meter, dan masih banyak lagi.

Saya sempat kaget setelah mengetahui bahwa Aji tahu sangat banyak hal. Menurut orangtuanya, Aji sangat gemar membaca dan belajar. Buku-buku pelajaran anak SMP dan SMA sebagian sudah ia lahap. Guru di sekolah Aji sampai kewalahan dan menyarankan agar Aji jangan diberi buku-buku baru lagi. Khawatir nanti jadi terlalu pintar. Bahkan ada psikolog yang juga menyarankan hal yang sama. Saya tidak sependapat dengan saran ini. Saya malah menyarankan agar Aji diberi kesempatan belajar seluas-luasnya.

Nah, kembali pada topik bahasan kita kali ini. Mengapa nilai Aji tidak maksimal? Setelah saya gali lebih lanjut, persoalan utamanya ternyata Aji sering kali, dalam memberikan jawaban pada soal ujian, menjawab tidak sesuai dengan buku panduan guru.

Contohnya? Salah satu soal pada ujian bidang studi Sains berbunyi, "Tubuh kucing ditutupi oleh...........". Aji menjawab, "Bulu". Hal ini disalahkan oleh gurunya. Ternyata menurut guru jawaban yang benar adalah "rambut". Guru ini menyalahkan jawaban Aji tanpa memberikan alasan yang masuk akal dan juga tidak memberikan penjelasan kepada Aji mengapa jawabannya "salah".

Para pembaca, bila anda sebagai guru Aji, apakah anda akan membenarkan atau menyalahkan jawaban Aji? Bila saya adalah guru Aji maka saya akan membenarkan jawaban Aji karena memang jawabannya benar sekali. Saya tidak habis pikir apa alasan si guru menyalahkan jawaban ini.

Mendengar cerita ini saya langsung teringat pada beberapa contoh kasus lainnya yang diceritakan seorang kawan saya, saat ia di kelas 1 SD. Ada guru memberikan instruksi pada lembar soal sebagai berikut, "Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan jawaban singkat dan jelas". Apa yang terjadi? Ternyata ada murid yang menjawab semua pertanyaan dengan menuliskan "Singkat dan jelas". Akibatnya? Guru marah besar dan murid diberi angka nol. Selanjutnya orangtua murid dipanggil ke sekolah karena anaknya "bermasalah".

Kalau anda sebagai guru, apa yang akan anda lakukan menghadapi situasi ini? Kalau saya, saya akan memberikan nilai 100 karena murid telah melaksanakan perintah dengan sangat sempurna. Anda mungkin akan protes keras. Saya bisa memahami reaksi anda. Namun bila anda, yang tidak setuju saya memberikan nilai 100, sedikit lebih jeli dalam membaca perintah yang diberikan guru itu maka anda pasti bisa memahami sikap saya. Mengapa?

Kalau dibaca sekilas maka perintah ini kesannya sudah sangat jelas. Ternyata kalau kita baca dengan seksama, perintah ini bersifat ambigu karena punya dua makna. Pertama, murid diminta mengisi dengan jawaban yang bersifat singkat dan jelas. Kedua, murid diminta untuk menjawab pertanyaan dengan jawaban, "Singkat dan jelas".

Contoh lain lagi adalah, "Adi mengalami kecelakaan .......... tanggal dua." Apa jawabannya? Guru berharap murid menjawab "pada" sehingga kalimatnya menjadi, "Adi mengalami kecelakaan pada tanggal dua". Nah, bagaimana bila anak menjawab, "Adi mengalami kecelakaan giginya tanggal dua." Benar atau salah? Ini adalah kejadian nyata di sebuah sekolah dasar swasta terkemuka di Sidoarjo.

Contoh lain lagi adalah, "Bila berdoa kita merasa .........." Jawaban yang diberikan anak ternyata sangat jujur. Anak menjawab, "Bila berdoa kita merasa mengantuk." Ternyata jawaban ini disalahkan. Yang benar adalah, "Bila berdoa kita merasa damai." Dari sini kita bisa melihat bahwa kejujuran seorang anak ternyata tidak dihargai dan justru mendapat hukuman, karena jawabannya disalahkan.

Contoh lain lagi? Saat mengerjakan matematika. Sering kali cara mengerjakan soal matematika, yang kita ajarkan kepada anak, yang ternyata lebih singkat dan praktis, ternyata tidak boleh digunakan karena tidak sesuai dengan cara yang diajarkan oleh guru. Bila anak bersikeras mengerjakan dengan cara yang diajarkan orangtuanya maka jawabannya akan disalahkan.

Saya punya contoh yang terjadi pada keponakan kami, Ani. Ini menyangkut pelajaran agama. Saat di kelas 4 SD nilai ujian agama Ani ternyata sangat jelek. Sampai harus di-remedi berkali-kali. Setelah saya selidiki akhirnya saya tahu apa penyebabnya. Ternyata guru agamanya menuntut murid harus mampu menghafal ayat-ayat suci, persis plek atau harus sama seperti yang tertulis di kitab suci.

Ternyata Ani, walaupun sudah berusaha keras menghafal, tidak mampu secara sempurna mengingat kalimat per kalimat dari sekian banyak ayat suci yang harus dihapal. Hal ini yang sering saya sesalkan. Guru meminta murid menghafal namun guru tidak pernah mengajarkan cara menghafal yang benar.

Ceritanya jadi lain saat Ani di kelas 5. Yang mengajar agama adalah guru lain, yang jauh lebih mengerti psikologi dan proses pembelajaran. Guru ini lebih menekankan aspek pemahaman dan aplikasi dari ayat suci ke dalam kehidupan sehari-hari, dari pada sekedar menghafal. Hasilnya? Nilai ujian Ani sekarang selalu di atas 9.

Nah, para pembaca yang budiman, setelah membaca sejauh ini saya yakin anda pasti pernah mengalami hal yang sama seperti yang saya ceritakan di atas. Atau anda sendiri pernah mengalami apa yang saya ceritakan.

Saya pribadi sangat yakin bahwa setiap anak dilahirkan dengan potensi menjadi seorang jenius. Yang penting adalah bagaimana kita bisa membantu seorang anak, pada saat ia bertumbuh dan berkembang, khususnya pada aspek intelektual.

Paradigma sekolah mengenai ujian adalah bila anak nilainya jelek maka anak ini masuk kategori anak yang lamban (sedikit lebih sopan daripada "bodoh"). Apakah benar demikian?

Bagaimana dengan Martinus JG Veltman, seorang fisikawan Belanda yang berhasil memenangkan hadiah nobel pada tahun 1999? Veltman, semasa masih sekolah, ternyata masuk kategori anak yang nilainya pas-pasan.

Kisah lainnya adalah tentang Masatoshi Koshiba yang juga pemenang hadiah nobel fisika tahun 2002. Saat Koshiba hendak mengambil S2 di Amerika, dosennya, di Tokyo University, enggan menuliskan surat rekomendasi. Setelah dirayu-rayu akhirnya dosennya bersedia. Di surat rekomendasi, secara jujur, dosennya berkata, "His results are not good, but he's not that stupid".

Masatoshi akhirnya berhasil mendapatkan gelar Ph.D. Kalau dulu ia lulus dari Tokyo University dengan nilai terendah, kini ia menjadi profesor fisika di universitas yang sama. Pertanyaannya, "Yang bodoh ini si Masatoshi ataukah cara pengujiannya?"

Bagaimana dengan Thomas Alfa Edison? Edison dianggap sebagai anak yang sangat bodoh, tidak bisa diajar, sehingga gurunya meminta orangtua Edison mengeluarkannya dari sekolah. Kita semua tahu bahwa Edison adalah salah satu penemu/inventor yang paling brilian yang telah mematenkan lebih dari 1.000 penemuan.

Lalu apakah gunanya ujian? Ujian atau tes sebenarnya adalah salah cara untuk mengetahui tingkat penguasaan materi. Bila nilai ujian jelek maka artinya adalah anak belum menguasai materi dengan baik, bukan anak bodoh. Ada banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar anak. Salah satunya adalah sistem pengujian yang digunakan.

Dengan sistem KBK, guru kini harus memasukkan unsur afeksi dan psikomotor dalam proses penilaian. Akan sangat riskan bila guru melakukan penilaian tanpa mengerti gaya belajar murid. Salah satu aspek yang dinilai dalam afeksi adalah perhatian murid terhadap guru saat guru menjelaskan.

Murid dengan gaya belajar dominan kinestetik tentu akan sangat dirugikan. Mengapa? Karena murid tipe ini cenderung untuk sibuk sendiri, namun ia tetap fokus pada apa yang dijelaskan guru. Murid kinestetik memperhatikan guru tidak harus dengan menatap langsung ke depan kelas. Guru yang tidak mengerti hal ini akan mencap muridnya tidak memperhatikan dirinya. Dengan demikian akan memberikan penilaian yang tidak tepat.

Lalu bagaimana dengan UN atau UNAS? Ini setali tiga uang. Justru sistem ujian ini membuat murid tidak mau belajar dengan sungguh-sungguh materi yang tidak di-UNAS-kan. Banyak murid yang berkata, "Buat apa belajar kalau ternyata mata pelajaran itu nggak ikut UNAS!" Dan guru mengeluh karena murid tidak termotivasi untuk belajar.

Sudah saatnya kita melakukan pengujian dengan cara yang manusiawi, memihak, dan memberdayakan anak atau peserta didik. Ujian yang anak-anak (kita) jalani saat ini identik dengan kemampuan menghapal. Semakin kuat kemampuan menghapal akan dianggap semakin pintar. Benarkah demikian adanya?

Transforming Thoughts Into Action

Ada satu kepercayaan yang sudah sangat tua usianya, sejak jaman Socrates, yang menyatakan bahwa Knowledge is Power (pengetahuan adalah kekuatan). Pendidikan saat ini masih berpegang pada kepercayaan kuno ini dan hanya berfokus pada mengajarkan pengetahuan, dan berharap segala sesuatu akan berjalan dengan baik berdasar pengetahuan yang telah dipelajari. Sikap ini sudah tidak relevan dengan kondisi dunia saat ini.

Pengetahuan tetap merupakan hal yang sangat penting ? namun pengetahuan bukanlah segala-galanya. Kita juga perlu "berpikir untuk bertindak."

Dunia yang berubah dengan sangat cepat menuntut individu untuk bisa memiliki kecakapan berpikir yang baik.
Masa depan individu, masyarakat, dan seluruh dunia bergantung pada kemampuan berpikir kita. Kecakapan berpikir, walaupun merupakan hal yang sangat penting untuk dikuasai, sangat jarang diajarkan sebagai satu bidang studi. Berapa banyak sekolah yang mengajarkan kecakapan berpikir dalam kurikulumnya? Jika sekolah ada mengajarkan kecakapan berpikir maka yang biasa mereka ajarkan adalah kecakapan berpikir kritis (critical thinking
) yang berasal dari kata Yunani "kritikos" yang berarti menghakimi atau judgement.

Kita perlu memiliki kemampuan untuk menghasilkan
IDE, tidak sekedar menghakimi ide. Kita perlu membuat perencanaan TINDAKAN
, bukan sekedar menghakimi perencanaan itu.

Ada orang yang percaya bahwa kita tidak bisa berbuat apa-apa dalam hal mengembangkan kecakapan berpikir. Mereka percaya bila anda cerdas maka anda adalah seorang pemikir yang cakap dan jika anda terlahir "goblok" maka tidak ada satupun hal yang bisa dilakukan untuk mengubah hal ini. Kecerdasan ibarat tenaga dari mesin sebuah mobil dan kecakapan berpikir seperti kecakapan menyetir mobil.

Ada dua hal yang dapat kita lakukan untuk mengubah pandangan salah ini:

  1. Kita perlu memperlakukan berpikir seperti suatu kecakapan yang dapat dipelajari, dipraktekkan, dikembangkan, dilatih, dan ditingkatkan.

  2. Kita perlu memperhatikan "berpikir untuk bertindak/thinking for doing"

Sayangnya
THINKING FOR DOING
adalah hal yang rumit

Anda perlu memperhatikan orang lain. Anda harus mempunyai perencanaan dan strategi. Ada saatnya anda perlu bekerja sama dan ada waktunya anda terpaksa untuk berkompetisi. Mungkin anda perlu melakukan negosiasi. Anda harus menebak dan memperhitungkan berbagai kemungkinan.

Banyak orang percaya bahwa berpikir hanya berhubungan memecahkan teka-teki/puzzle yang sulit di mana semua keping-keping puzzle disediakan dan anda harus menghasilkan jawaban dengan menyusun keping-keping itu. Kehidupan nyata tidak seperti merangkai keping puzzle. Anda tidak punya semua keping yang dibutuhkan. Anda harus menemukan sendiri keping-keping itu. Jawaban yang benar bisa lebih dari satu. Tidak ada satu jawaban yang mutlak paling benar.

Anda harus merancang tindakan anda. Anda harus mempertimbangkan akibat yang timbul dari tindakan-tindakan anda. Dalam dunia nyata, masalah muncul sewaktu-waktu dan informasi yang tersedia untuk menyelesaikan masalah itu sering kali tidak lengkap. Tidak setiap masalah dapat dipecahkan dan anda mungkin akan frustrasi karena tidak dapat memecahkan suatu masalah. Meskipun demikian proses berpikir itu sendiri haruslah menyenangkan.

SELAMAT BERPIKIR !

Penjara Mental

Dalam berbagai seminar pengembangan diri dan manajemen pikiran yang saya lakukan, saat saya bertanya pada peserta seminar, "Mengapa orang sukses?" atau "Mengapa orang gagal?", maka saya selalu mendapatkan jawaban yang beragam. Terlepas dari jenjang pendidikan peserta seminar, saya selalu mendapatkan jawaban yang justru bersifat menghambat diri mereka untuk bisa mencapai keberhasilan hidup. Jawaban-jawaban itu mencerminkan sistem kepercayaan yang justru telah mengurung mereka dalam satu zona kenyamanan yang tidak nyaman, dan telah menjadi penjara mental yang tidak mereka sadari.

Penjara mental yang saya maksudkan adalah berbagai kepercayaan yang salah, yang mereka terima sebagai sesuatu yang benar, tanpa pernah mereka periksa keabsahan dan kebenaran kepercayaan itu. Setiap kali saya bertanya "Mengapa orang sukses?", jawaban standar yang saya dapatkan adalah karena faktor keturunan, hoki, pendidikan, koneksi, hari lahir/jam lahir, nasib, jenis kelamin, shio/zodiak, modal, dan kesehatan / fisik. Anehnya, bila saya bertanya, "Mengapa orang gagal?", maka saya juga mendapatkan jawaban yang kurang lebih sama dengan jawaban di atas.

Yang lebih aneh dan memprihatinkan, setelah saya membahas dan menerangkan bahwa semua jawaban mereka itu adalah kepercayaan yang salah, tetap masih ada peserta seminar yang bersikeras bahwa apa yang mereka percayai, sebagai faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan hidup, adalah hal yang benar. Alasannya adalah karena kepercayaan itu adalah pelajaran yang mereka dapatkan dari orangtua, guru, atau figur yang mereka kagumi dan hormati.

Penjara yang umum kita kenal adalah tempat untuk mengurung seseorang, untuk periode waktu tertentu, yang telah berbuat kesalahan atau kejahatan. Selama seseorang berada di penjara maka ia kehilangan kebebasan dan sebagian hak-haknya sebagai warga negara. Narapidana menjalani hidup yang monoton dan terisolasi dari dunia luar sampai masa hukumannya habis.

Penjara mental menjalankan fungsi yang sama. Namun sangat banyak orang yang secara sadar atau tidak sadar telah memasukkan diri mereka ke penjara yang tidak kasat mata, yang lebih mengerikan, dan dapat mengurung diri mereka seumur hidup. Satu-satunya cara untuk keluar dari penjara mental adalah dengan secara sadar menelaah setiap kepercayaan yang dipegang seseorang. Tidak ada kepercayaan yang baik atau buruk.
Yang ada adalah kepercayaan yang mendukung dan menghambat.

Kepercayaan seseorang mengendalikan cara berpikir, sikap, perilaku, bagaimana ia menggunakan waktunya, siapa kawannya, buku apa yang ia baca, gaya hidup, penghasilan, dan masih banyak aspek lain.

Saya sering bertemu dengan orang yang berkata, "Uang adalah akar dari segala kejahatan". Orang dengan kepercayaan ini hidupnya biasa-biasa, cenderung agak kekurangan. Mereka telah mengadopsi kepercayaan yang salah. Saat saya jelaskan bahwa kepercayaan itu kurang tepat karena mereka salah mengutip salah satu ayat dari kitab suci, mereka umumnya kaget. Kepercayaan ini telah menjadi penjara mental mereka.

Baru-baru ini saya bertemu dengan seorang kawan yang sangat berhasil secara finansial. Saat saya bertanya mengenai rahasia keberhasilannya, ia menjawab, "Sejak usia tujuh tahun saya telah mempunyai keyakinan bahwa bila saya berusaha dan bekerja keras, maka Tuhan akan berkonsultasi dengan saya untuk menentukan nasib saya". Kita tidak boleh menilai apakah kepercayaan ini benar atau salah. Kepercayaan adalah sesuatu yang pribadi. Pesan yang ingin saya sampaikan adalah bahwa apapun kepercayaan yang kita pegang maka kepercayaan ini akan mempengaruhi hidup kita.

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan satu pertanyaan bagi anda. Ada dua keluarga yang mengajarkan dua kepercayaan yang berbeda pada anak-anak mereka. Keluarga pertama mengajarkan "Mangan ora mangan.........kumpul" . Keluarga kedua mengajarkan, "Kumpul....kumpul.......kita makan". Menurut anda, anak dari keluarga mana yang akan jauh lebih berhasil secara finansial?

Life Value: The Source of Motivation

Baru-baru ini saya bertemu dengan seorang kawan yang mengajukan pertanyaan, "Saya telah membaca banyak buku pengembangan diri, mendengar banyak kaset/CD motivasi, menghadiri berbagai seminar motivasi dan pengembangan diri, namun mengapa sampai saat ini saya masih belum sukses? Mengapa saat mengikuti seminar motivasi, saat masih di ruang seminar, saya sangat bersemangat dan termotivasi, namun setelah pulang ke rumah, motivasi saya hilang? Apa ada yang salah dengan diri saya?".

Cukup sulit bagi saya untuk bisa memberikan jawaban langsung. Kawan saya ini termasuk maniak buku. Buku-buku yang dia baca juga bukan buku sembarangan. Sebut saja nama penulis terkenal seperti Zig Ziglar, Erich Fromm, Maslow, Carl Rogers, Victor Frankl, William Glasser, Kiyosaki, Anthony Robbins, Maxwell Maltz, Stephen Covey, Dale Carnigie, Michael Hutchinson, Goleman, Martin Seligman, Bandler dan Grinder, Milton Erickson, dan sederet nama besar lainnya. Seminar yang ia datangi juga seminar-seminar mahal tidak hanya di dalam negeri, tapi juga di luar negeri.

Setelah minta waktu untuk berpikir, saya akhirnya mengajukan pertanyaan yang berhasil menemukan sumber masalahnya, "
Apa yang paling penting bagi hidup anda
?" Mendengar pertanyaan ini kawan saya menjawab, "Ah, pertanyaan ini sudah sering ditanyakan pada saya. Dan saya sudah tahu jawabannya". "Kalau begitu, apa jawaban anda untuk pertanyaan ini?", kejar saya lagi. "Saya ingin sukses", jawab kawan saya singkat dan sedikit jengkel. Mungkin ia merasa bahwa pertanyaan saya ini terlalu sederhana bagi seseorang yang telah "kenyang" dengan hal-hal yang berhubungan dengan pengembangan diri. "Mengapa sukses penting bagi diri anda?", tanya saya lagi. "Ya, pokoknya saya mau sukses. Semua orang mau sukses. Siapa yang mau hidup susah!", jawab kawan saya lagi.

Mendengar jawaban ini, saya langsung tahu mengapa ia sampai sekarang belum sukses. Saat ia menjawab bahwa ia ingin sukses, saya masih belum puas. Saat ia menjawab pertanyaan kedua, "Mengapa sukses penting bagi diri anda?", saya langsung tahu sumber masalahnya. Mengapa saya bisa tahu? Karena ia tidak bisa memberikan alasan yang jelas mengapa ia ingin sukses. Bila ia tidak punya alasan yang kuat untuk sukses maka pikiran bawah sadarnya mengartikan sukses sebagai sesuatu yang tidak penting, tidak mendesak, dan tidak perlu dicapai.

Saat saya menjelaskan hal ini pada kawan saya ini, ia langsung protes, "Ah, itu nggak mungkin. Sukses itu sangat penting bagi saya. Masa saya nggak mau sukses". Namun saat saya menunjukkan bahwa ia tidak bisa memberikan alasan yang jelas mengapa sukses penting bagi dirinya, ia langsung diam dan sedikit kaget. Hal berikut ini adalah apa yang saya jelaskan padanya.

Kita bisa sukses, di bidang apa saja, bila sukses adalah hal yang penting bagi diri kita. Hal ini dibuktikan dengan adanya alasan yang kuat, dengan muatan emosi yang tinggi, untuk bisa mencapai keberhasilan. Bila sesuatu menjadi penting bagi diri kita maka sesuatu itu akan bernilai dan berharga untuk dicapai. Hal ini yang dinamakan value. Semakin tinggi "nilai" atau value sesuatu hal maka kita akan semakin bersemangat dan fokus untuk bisa mencapainya. Demikian juga sebaliknya. Bila sesuatu itu tidak penting bagi diri kita maka kita tidak akan mau bersusah payah mencapainya. Buat apa mengerjakan sesuatu yang menurut kita tidak penting, bukan? Kecuali kalau memang kita ini kengangguran atau kurang kerjaan.

Secara sederhana value dapat diartikan sebagai sesuatu yang kita percayai sebagai hal yang penting bagi diri kita atau suatu emosi yang kita pandang penting untuk kita alami atau kita hindari.

Value berperan sebagai filter yang beroperasi di bawah sadar yang menentukan fokus kita dan bagaimana kita memanfaatkan waktu. Semakin tinggi value sesuatu maka semakin banyak waktu yang kita luangkan untuk melakukan hal tersebut.

Apakah value ini harga mati? Tentu tidak. Value dapat berubah sewaktu-waktu sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan diri kita. Ada hal yang dulunya kita anggap penting, misalnya saat masih di SMA atau saat kuliah, ternyata kini sudah tidak penting lagi bagi hidup kita.

Value merupakan sumber motivasi. Saat saya menjelaskan hal ini pada kawan saya, ia tampak bingung dan bertanya, "Maksudnya?". Saya lalu menunjukkan buku yang sedang saya baca. Buku ini judulnya Abhiddhammatasangaha, tebalnya sekitar 550 halaman. Buku ini mengenai manajemen pikiran dan berisi sangat banyak istilah dalam bahasa Pali. Saya berkata, "Kalau anda saya minta untuk membaca buku ini, mau nggak?". Setelah melihat sekilas isi buku ia menjawab, "Ngapain baca buku ini. Apa saya kurang kerjaan?" "Persis!", jawab saya. "Apanya yang persis?", kejar kawan saya dengan penasaran. "Kalau saya kasih uang Rp. 1 juta dan anda saya minta membaca buku ini dalam waktu 1 malam, mau nggak?", tanya saya lagi. "Nggak mau!", jawabnya singkat. "Kalau misalnya ada seseorang ingin memberi anda rumah mewah dengan syarat anda harus membaca habis buku ini dalam satu malam, kira-kira anda mau nggak?", tanya saya lagi. "Wah, kalau ada hadiah rumah tentu saya mau," jawab kawan saya dengan cepat.

Mengapa ia bisa berubah pikiran dari yang tadinya tidak mau akhirnya menjadi mau? Ini semua berhubungan dengan seberapa penting membaca buku tersebut. Tadinya ia merasa tidak ada gunanya membaca buku. Namun saat ia melihat reward yang bisa ia dapatkan, maka membaca buku menjadi penting.

Alasan mengapa kawan saya belum sukses adalah karena sukses bukan hal penting bagi dirinya. Walaupun pikiran sadarnya akan tetap bersikeras mengatakan bahwa sukses itu penting bagi dirinya, pikiran bawah sadarnya berpikir hal yang sebaliknya. Saat ia tidak bisa menjawab mengapa sukses penting bagi dirinya, ini adalah jawaban yang berasal dari pikiran bawah sadarnya. Dan dari penelitian diketahui bahwa besarnya pengaruh pikiran bawah sadar terhadap diri manusia adalah sebesar 90% dan pikiran sadar hanya 10%.

Kawan saya tidak fokus untuk mengejar impiannya. Ia mudah sekali goyah dan berubah arah. Sesuatu yang dikerjakan tidak dengan fokus yang kuat tentu tidak akan bisa memberikan hasil maksimal. Sama seperti kaca pembesar. Kita dapat menggunakan kaca pembesar untuk membakar kertas dengan cara memfokuskan sinar matahari menjadi satu titik. Hal ini tidak mungkin bisa dicapai bila sebentar-sebentar kita menggerak-gerakkan kaca pembesar itu, naik turun, dan mengubah fokus. Motivasi untuk mempertahankan fokus ditentukan oleh seberapa penting, menurut pikiran kita, kita perlu membakar kertas itu.

Setelah mendengarkan penjelasan ini kawan saya akhirnya hanya bisa manggut-manggut. Ia lalu bertanya, "Kalau boleh tahu, anda dapat informasi ini dari sumber mana? Apa ada buku yang menjelaskan hal ini?". "Sudah tentu ada. Ada buku sangat bagus yang akan segera terbit. Buku ini ditulis oleh pengarang terkenal yang telah menghasilkan dua buku best seller", jawab saya. "Apa judul bukunya dan siapa nama penulisnya?", kejar kawan saya sambil bersiap-siap mencatat. "Catat baik-baik ya. Buku ini akan terbit bulan Agustus 2005, judulnya Manage Your Mind For Success. Penulisnya adalah Adi W. Gunawan dan Ariesandi Setyono", jawab saya. "Ah, dasar. Ditanya serius koq malah guyon", jawab kawan saya agak kesel. "Eh, saya ini serius lho. Bulan depan buku Manage Your Mind For Success akan terbit. Ini draft final yang sedang saya koreksi sebelum saya kirimkan ke penerbit," jawab saya dengan serius sambil menunjukkan draft tersebut. "Lho, kamu sungguh-sungguh ya. Saya kira tadi guyonan. Kalau begitu saya catat ya judulnya," jawab kawan saya lagi. "Oh ya, satu hal lagi, bulan depan yang terbit bukan cuma satu buku. Bulan depan juga akan terbit buku saya yang keempat yang berjudul Apakah IQ Anak Bisa Ditingkatkan?", saya menambahkan. "Edan! Bagaimana kamu bisa sempat-sempatnya nulis dua buku padahal jadwalmu begitu padat?", tanyanya dengan penuh penasaran. "Ini semua karena motivasi dan fokus. Saya termotivasi dan bisa tetap fokus karena bagi saya menulis buku adalah bagian dari proses aktualisasi diri. Dan saya sangat ingin untuk bisa membantu orang lain melalui karya saya. The secret of living is giving", jawab saya mengakhiri diskusi kita.

Kawan saya pulang dengan hati senang. Saya juga senang karena berhasil membantu seorang kawan mendapatkan suatu pemahaman yang benar, yang tentunya akan sangat bermanfaat bagi hidupnya. Saya lebih senang karena sekali lagi berhasil menyesatkan orang ke jalan yang benar.

Rule Your Mind or It Will Rule You

Pikiran merupakan hamba yang sangat berguna namun merupakan majikan yang paling kejam. Oleh sebab itu, berhati-hatilah dengan pikiran anda. Berita baiknya, sebelum saya menjelaskan maksud pernyataan di atas, adalah bahwa manusia adalah satu-satunya mahluk di dunia ini yang memiliki kemampuan berpikir mengenai proses berpikir. Istilah teknisnya adalah metakognisi. Berita buruknya adalah bahwa sangat banyak orang yang tidak sadar, tidak tahu, pura-pura tidak tahu, atau bahkan tidak mau tahu bahwa mereka sebenarnya memiliki kemampuan ini. Dan oleh sebab itu mereka tidak pernah sadar bahwa seumur hidup mereka telah menjadi budak atau hamba dari pikiran mereka sendiri.

Apapun yang terjadi di dalam hidup kita merupakan realisasi dari pikiran kita yang dominan. Semakin kita memikirkan hal yang tidak kita inginkan, maka kita semakin cenderung mendapatkannya. Ada seorang remaja putri, yang tidak suka dengan tingkah laku ibunya dan ia berkata, "Nanti, kalau saat saya dewasa, saya tidak akan jadi seperti ibu saya". Apa yang terjadi saat ia dewasa? Ia menjadi persis seperti ibunya. Mengapa? Karena semakin ia pikirkan bahwa ia tidak mau menjadi seperti ibunya, maka pikiran ini menjadi semakin dominan, semakin menguasai dirinya, dan dengan demikian mengarahkan ia untuk menjadi seperti ibunya.

Demikian juga orang gagal, yang pencapaian prestasi hidupnya rendah. Coba anda tanyakan pada mereka, "Apa yang anda ingin capai dalam hidup?". Mereka akan selalu berkata, "Saya ingin agar hidup saya tidak kekurangan, tidak miskin, tidak susah, tidak menderita, tidak ini...., tidak itu.....". Yang mereka katakan selalu apa yang tidak mereka ingin terjadi pada diri mereka. Namun yang tidak mereka sadari adalah semakin mereka fokus untuk menghidari apa yang tidak mereka inginkan maka pikiran mereka akan semakin membuat hal itu menjadi kenyataan.

Sebaliknya kalau orang sukses ditanya," Apa yang anda ingin capai dalam hidup?", maka mereka pasti akan menjawab, "Saya ingin menjadi pengusaha sukses, saya ingin membantu orang yang tidak mampu dengan kekayaan saya, saya ingin mendirikan panti asuhan, saya ingin menyekolahkan anak ke luar negeri, saya ingin......., saya ingin........". Semua jawaban itu selalu yang positip. Anda bisa lihat bedanya sekarang?

Anda mungkin akan bertanya, "Mengapa terjadi perbedaan hasil antara orang gagal dan orang sukses, padahal mereka memikirkan tujuan yang sama?" Sebelum saya jawab, saya perlu meralat pertanyaan anda. Mereka memang terkesan memikirkan hal yang sama, padahal tidak sama. Bukankah tidak mau hidup miskin sama dengan hidup dalam kelimpahan? Bukankah hidup tidak menderita sama dengan hidup senang atau bahagia? Secara bahasa, apa yang mereka nyatakan memang artinya sama. Tapi secara kerja pikiran, kedua pernyataan itu bertolak belakang. Lho, koq bisa?

Sekarang saya ingin bermain dengan pikiran anda sejenak. Coba anda lakukan hal berikut ini. Saya ingin anda untuk
tidak memikirkan seekor gajah warna merah muda. Sekali lagi, saya minta anda tidak memikirkan
gajah warna merah muda. OK! Berhenti sejenak. Lakukan eksperimen kecil ini. Setelah itu baru anda boleh meneruskan membaca.

Bila anda melakukan dengan benar apa yang saya minta maka yang pikiran anda malah memikirkan seekor gajar warna merah muda. Mengapa bisa terjadi demikian? Bukankah perintahnya tadi adalah anda diminta
tidak memikirkan
gajar merah muda?

Inilah perbedaan kerja bahasa dan kerja pikiran. Secara struktur kalimat, instruksi yang saya berikan sudah benar. Namun tidak demikian bila instruksi ini mau dilaksanakan oleh pikiran. Bahasa mengenal negasi. Pikiran tidak. Kalimat "tidak memikirkan" secara kaidah bahasa memang benar berarti "tidak boleh memikirkan atau jangan memikirkan". Namun di pikiran, untuk bisa menegasi suatu pernyataan maka yang terjadi adalah harus terlebih dahulu muncul "sesuatu" untuk kemudian dinegasi.

Dalam contoh yang saya berikan, untuk bisa "tidak memikirkan gajah merah muda", maka yang terjadi di pikiran adalah:
1. pikiran harus memunculkan gambar gajah warna merah muda
2. baru setelah itu pikiran akan menegasi gajah merah muda

Namun, begitu gambar gajah merah muda telah muncul dipikiran maka efek negasi tidak berlaku. Artinya, gambar gajah merah muda itu akan tetap berada di dalam pikiran. Semakin dominan pikiran itu maka semakin kuat pengaruhnya pada diri seseorang.

Hal ini sama efeknya dengan orangtua yang "memotivasi" anaknya, yang malas belajar, dengan kalimat, "Nak, jangan malas. Kalau malas kamu nggak bisa sukses". Apa yang terjadi? Anaknya justru tambah malas dan tambah sulit sukses. Demikian juga saat orangtua mendorong anak untuk rajin bangun pagi dengan, "Kalau bangun jangan suka telat. Jangan suka bangun siang. Nanti bisa telat masuk sekolah". Apa yang terjadi? Anaknya tetap bangunnya telat. Mengapa bisa demikian?

Komunikasi mengandung tiga hal. Pertama adalah ide, kedua adalah gambaran mental, dan yang ketiga adalah emosi. Saat orangtua berkata jangan bangun telat, maka ini adalah ide. Selanjutnya dalam pikiran akan muncul gambar orang yang bangun telat. Setelah itu muncul emosi. Kalau emosi yang muncul adalah ia merasa enak kalau tidur sampai siang, maka kebiasaan ini akan semakin kuat.

Stephen Covey dalam bukunya The Seven Habits of Highly Successful People mengatakan bahwa saat dalam setiap kesempatan, kita selalu dibombardir dengan begitu banyak stimulus. Dan dari setiap stimulus, akan selalu muncul respon. Banyak orang yang hanya menjalani hidup secara mekanis yaitu aksi ? reaksi. Ada stimulus (aksi), tanpa berpikir panjang, langsung memberikan respon (reaksi). Padahal sebenarnya antara stimulus dan respon ada waktu jeda yang dapat kita gunakan untuk menentukan respon yang paling sesuai.

Lalu pertanyaannya adalah, "Apa yang sebenarnya terjadi di masa jeda ini?"

Uraikan......

Untuk dapat benar-benar bisa mengendalikan pikiran kita harus menyadari bahwa kita dan pikiran kita adalah dua hal yang berbeda. Dengan kata lain, kita menggunakan pikiran namun pikiran bukanlah diri kita. Diri kita adalah sebuah kesadaran yang menggunakan pikiran sebagai alat untuk menghasilkan buah pikir. Kesadaran ini merupakan langkah awal untuk mengendalikan pikiran. Untuk mudahnya anda cukup mengingat tiga hukum pengendalian pikiran berikut:

Hukum pengendalian pikiran yang
pertama berbunyi: Buat pikiran anda memikirkan apa yang anda ingin pikirkan
.

Pikiran selama ini telah dengan sangat bebas memikirkan apapun yang pikiran inginkan. Dengan demikian selama ini pikiran yang mengendalikan diri anda. Sekarang, setelah menyadari hal ini, anda perlu membalik prosesnya, kenali bahwa pikiran hanyalah merupakan suatu aktivitas, yang dapat berjalan sesuai dengan keinginan anda. Untuk dapat mengendalikan pikiran, anda harus disiplin dalam menjalankan hukum pertama ini. Belajarlah untuk mengatur pikiran seperti anda menjalankan sebuah mesin. Anda dapat menyalakan atau mematikan menurut keinginan anda.

Hukum pengendalian pikiran yang
kedua berbunyi: Buat pikiran anda berpikir saat anda menginginkannya berpikir dan berhenti berpikir saat anda menginginkannya berhenti
.

Bagi kebanyakan orang pikiran mereka dapat melakukan apa saja, meskipun tanpa persetujuan mereka, sehingga pikiran yang menentukan apa yang akan ia pikirkan. Akibatnya, pikiran yang muncul sering kali tidak terkendali dan mengakibatkan pikiran yang kacau. Untuk mengatasi hal ini anda harus bisa menjadi tuan dari pikiran anda, bukan sebaliknya. Gunakan pikiran saat anda ingin menggunakannya dan tidak menggunakannya saat anda tidak ingin menggunakannya. Dengan kata lain, anda harus belajar untuk bisa membuat pikiran menjadi tenang saat anda menginginkannya tenang.

Hukum pengendalian pikiran yang
ketiga berbunyi: Menjadi pengamat dari pikiran yang anda pikirkan
.

Semakin ahli anda dalam memainkan peran sebagai pengamat dalam mengamati pikiran maka anda akan semakin mampu menguasai pikiran. Mainkan peran pengamat dalam setiap bentuk kegiatan mental yang anda lakukan. Jadikan hal ini sebagai sebuah kebiasaan. Bila anda mampu menjadikan peran pengamat sebuah kebiasaan, maka kebiasaan ini akan sangat membantu mengembangkan kemampuan persepsi anda. Selanjutnya anda akan mampu mengendalikan pikiran dan berpikir secara sadar.

Pada mulanya, keadaan pikiran orang pada umumnya relatif tidak terstruktur, obyektif, fleksibel, dan terbuka terhadap pengalaman belajar baru. Seiring berjalannya waktu, kondisi ini perlahan tapi pasti berubah menjadi semakin kaku, bias, dan sulit menerima persepsi, pembelajaran, atau respon yang tidak dapat diterima oleh struktur sebelumnya. Pada akhirnya, seluruh ruang lingkup kesadaran pikiran sadar didikte dan tunduk pada kerangka berpikir yang tadinya dibentuk sebagai landasan untuk mengembangkan kemampuan berpikir itu sendiri.

Pikiran sadar atau rasional sebenarnya merupakan pikiran yang paling tidak rasional. Mengapa demikian? Pikiran rasional, berdasarkan kesan yang diterimanya melalui perspektif yang terbatas, membentuk struktur-struktur yang kemudian menentukan apa yang akan diterima dan ditolaknya secara bebas. Mulai saat itu tidak peduli bagaimana dunia berjalan, pikiran rasional akan mengikuti aturan yang diciptakannya sendiri dan mencoba memaksa dunia mengikuti aturan itu. Celakanya lagi, kita menggunakan pikiran sadar untuk
berpikir, menganalisis, mensistesis, dan mengevaluasi.